Sabtu, 05 Juli 2008

Disorientasi Anggaran dalam Pembangunan Nasional



Anggaran publik atau anggaran pemerintah memainkan sederet peranan dalam pembangunan suatu negara. Secara teoritis anggaran pemerintah memainkan 3 fungsi utama, yaitu: fungsi alokasi, distribusi dan stabilitas. Dalam fungsi alokasi ini, anggaran pemerintah memainkan peranan dalam pengalokasian anggaran untuk kepentingan publik atau penyelenggaraan pemerintahan yang pada akhirnya juga dalam rangka pelayanan publik. Dalam fungsi yang lain termasuk pula pemerataan pendapatan dan pengentasan kemiskinan (fungsi distribusi) serta penciptaan lingkungan makroekonomi yang kondusif (fungsi stabilisasi). Fungsi-fungsi dasar tersebut kemudian melandasi perumusan kebijakan fiskal baik dari sisi pendapatan, pembiayaan maupun belanja negara.
Di sisi yang lain, pemerintah mengarahkan pembangunan nasional untuk mencapai tujuan pembangunan nasional. Dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2005-2009, tujuan-tujuan pembangunan nasional ini dijabarkan dalam agenda pembangunan nasional yang meliputi: (1) menciptakan Indonesia yang aman dan damai; (2) mewujudkan Indonesia yang adil dan demokratis (3) meningkatkan kesejahteraan rakyat Indonesia.
Dalam rangka mengoptimalkan pencapaian agenda-agenda ini, diperlukan prioritas pembangunan sesuai dengan ketersediaan pendanaan dan kebutuhan pembangunan. Secara lebih spesifik dapat dikatakan bahwa alokasi anggaran pemerintah seyogyanya berorientasi pada urutan prioritas pembangunan nasional dimaksud.
Pada tahun 2005, mengambil langkah kebijakan perubahan format belanja negara. Perubahan format belanja negara ini dilandasi oleh UU Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara. Perubahan dimaksud adalah dengan menjalankan sistem penganggaran yang terpadu (unified budget) yaitu dengan menyatukan anggaran belanja rutin dan anggaran belanja pembangunan yang sebelumnya dipisahkan. Perubahan lainnya adalah reklasifikasi rincian belanja negara menurut organisasi, fungsi dan jenis belanja, yang sebelumnya menurut sektor dan jenis belanja. Perubahan ini dimaksudkan untuk menyesuaian dengan klasifikasi international serta meningkatkan transparansi dan akuntabilitas pengelolaan belanja negara.
Namun untuk dapat mengoptimalkan pencapaian pembangunan nasional, peningkatan transparansi dan akuntabilitas pengelolaan belanja negara perlu dibarengi dengan konsistensi alokasi anggaran terhadap prioritas pembangunan nasional. Anggaran Negara seyogyanya konsisten beroirentasi kepada rencana pembangunan nasional baik RPJMN maupun RKP, seperti tampak pada gambar 1 berikut. Hal inilah yang hingga saat ini kurang dapat dipenuhi oleh pemerintah.
Mismatch antara alokasi anggaran dengan prioritas pembangunan nasional ini menjadi cerminan terjadinya disorientasi anggaran pemerintah. Atau dalam tinjauan teoritis fungsi anggaran, disorientasi ini mencerminkan tidak berjalannya fungsi alokasi pemerintah dalam mendukung kedua fungsi lainnya. Tidak mengherankan jika kemudian di satu sisi kebutuhan belanja terus meningkat sementara di sisi yang lain pencapaian tujuan-tujuan pembangunan berjalan lambat.
Disorientasi anggaran pemerintah akan tampak jelas sekali dengan menyandingkan rincian APBN berdasarkan fungsi dengan prioritas pembangunan. Dalam hal tahun 2006, berarti pula menyandingkan APBN 2006 dengan prioritas pembangunan dalam RKP 2006 (lihat gambar 2). Dari gambar tersebut tampak bahwa alokasi terbesar adalah pada fungsi pelayanan umum. Selain alokasinya yang terbesar, alokasi pemerintah pada pos fungsi pelayanan umum ini secara relatif jauh lebih besar dibandingkan pos-pos fungsi lainnya dengan porsi sebesar 61,60%.dari sebesar fungsi yang ada, hanya pelayanan umum dan pendidikan (10,12%) yang mendapatkan porsi di atas 10%. Sementara sisanya memperoleh porsi rata-rata sebesar 3,14%. Tak salah kemudian jika dikatakan bahwa alokasi anggaran untuk fungsi-fungsi yang krusial baik bagi publik maupun pembangunan nasional adalah ”anggaran sisa”.
Secara kasat mata, mungkin fungsi ini adalah fungsi yang secara normatif menjadi tanggung jawab pemerintah seperti halnya administrasi pelayanan publik, belanja pegawai pemerintah dan lain sebagainya. Namun jika memperhatikan perkembangan alokasi anggaran pada fungsi ini di tahun 2005, sebesar 22,05% dialokasikan untuk pinjaman pemerintah. Suatu kondisi dan kebijakan yang telah berlangsung bertahun-tahun yang berakibat anggaran belanja lebih digerogoti untuk pembayaran utang pemerintah berikut bunga ketimbang belanja lainnya untuk pembangunan nasional.
Disorientasi anggaran juga tampak pada usulan perubahan APBN 2006. Pada usulan APBN-P 2006 selain masalah rendahnya daya serap anggaran, masalah disorientasi juga mengemuka. Keterbatasan realisasi belanja pemerintah akibat keterbatasan realisasi target penerimaan lantas semakin diperparah dengan kurangnya upaya pemerintah untuk mengoptimalkan anggaran untuk pengeluaran-pengeluaran yang lebih signifikan untuk mendorong pembangunan nasional. Hingga semester I pemerintah telah merealisasikan belanja untuk pembayaran bunga utang hingga 52,11% dari APBN 2006 (gambar 3.1). Dengan porsi yang sedemikian besar saja, pemerintah masih mengusulkan kenaikan sebesar 8,9% untuk APBN-P 2006. bisa saja pemerintah berkilah bahwa porsi yang besar ini mengingat besarnya utang yang jatuh tempo dan untuk mengurangi ketergantungan terhadap utang. Namun pertanyaannya adalah haruskah pembayaran bunga utang ini direalisasikan di semester I dengan sedemikian besarnya. Setelah tekanan demi tekanan dalam perekonomian di tahun 2005, pemerintah seyogyanya dapat memberi ruang bagi pemulihan roda ekonomi di berbagai sektor yang justru akan memberikan dampak multiplier lebih besar terhadap penanggulangan kemiskinan dan penciptaan lapangan kerja yang justru menjadi prioritas dalam pembangunan nasional di tahun 2006.
Ironisnya lagi pos-pos lainnya yang justru dapat lebih menyokong pencapaian prioritas-prioritas pembangunan di tahun 2006, tidak saja rendah realisasi tetapi juga kurang menjadi perhatian dalam APBN-P 2006. Belanja modal misalnya, baru 22,2% terealisasi dan diusulkan meningkat sebesar 6,5% (dibandingkan pembayaran bunga utang yang 8,9%) pada APBN-P 2006. Padahal pos belanja ini penting artinya untuk mendorong pembentukan modal tetap nasional. Pos lainnya adalah belanja sosial yang realisasi sedikit lebih tinggi dibandingkan belanja modal, yaitu sebesar 29,69%. Terjadinya bencana alam, kekeringan, gizi buruh di sejumlah tempat di Indonesia mestinya perlu mendapat perhatian segera dari pemerintah. Realisasi anggaran seperti ini selain menunjukkan disorientasi anggaran juga menunjukkan lambatnya pemerintah menangani hal-hal yang segera.
Akar dari masalah disorientasi anggaran pemerintah ini yang pertama adalah masalah ketidakjelasan prioritas di dalam RPJMN dan RKP. Di dalam RPJMN 2005-2009 disebutkan 33 prioritas pembangunan nasional mulai dari peningkatan rasa saling percaya dan harmonisasi antar kelompok masyarakat hingga rencana rehabilitasi NAD dan Sumut (lihat tabel 3.1.). Namun dalam kaitannya dengan alokasi anggaran dan lebih jauh lagi soal mobilisasi sumber daya pembangunan nasional, prioritas pembangunan dalam RPJMN 2005-2009 ini tidak menunjukkan prioritas relatif masing-masing poin. Dengan kata lain, ke-33 prioritas yang ada tidak terurut sebagaimana layaknya prioritas. Secara politis mungkin saja ini satu langkah “aman” bagi pemerintah. Namun dari sisi konsistensi kebijakan fiskal dan kebijakan pembangunan, penjabaran prioritas semacam ini menciptakan celah-celah yang menyebabkan terjadinya disorientasi anggaran dan tidak optimalnya pencapaian prioritas pembangunan.
Kedua, pengajuan proyek kepada pemerintah seringkali tidak mengacu pada prioritas pembangunan nasional. Dalam RPK 2006 disebutkan bahwa prioritas pembangunan pada tahun 2006 adalah prioritas yang terfokus pada upaya penyelesaian masalah mendesak dan berdampak luas bagi peningkatan kesejahteraan rakyat serta didukung oleh upaya-upaya untuk menciptakan keadaan Indonesia yang lebih aman dan adil dan demokratis. Namun bertolak belakang dengan hal ini, anggaran yang diusulkan oleh departemen-departemen seringkali tidak mengacu pada fokus sebagaimana disebutkan dalam RKP 2006. Dan parahnya pemerintah dan DPR seakan begitu saja menyetujui usulan-usulan semacam itu.
Entah karena ketidakprofesionalan pemerintah dalam menyusun anggaran atau unsur kesengajaan untuk menciptakan celah untuk praktik-praktik korupsi, namun yang jelas disorientasi anggaran terus saja terjadi. Penyusunan anggaran di departemen-departemen tidak lebih dari “copy paste“ dari anggaran sebelumnya. Hal ini terbukti dengan tidak adanya perbedaan signifikan antar draf yang diajukan dari tahun ke tahun ke DPR (Kara, 2006). Kondisi semacam ini menimbulkan satu pertanyaan besar apakah departemen-departemen mempunyai visi dan misi yang sejalan dengan prioritas pembangunan dalam RPJMN 2005-2009.
Ketiga, anggaran berdasarkan negoisasi dan kepentingan. Diorientasi anggaran disebabkan pula oleh pengajuan dan persetujuan anggaran yang lebih dilatarbelakangi oleh kepentingan sejumlah pihak daripada kepentingan publik secara luas. Hal ini diperparah lagi dengan persetujuan anggaran mulai dari departemen, pemerintah dan DPR yang lebih didasari oleh negosiasi-negoisasi baik demi kepentingan segelintir orang mamupun kepentingan politis. Kondisi seperti inilah yang kemudian menciptakan celah bagi terjadi koprusi, kolusi dan nepotisme yang kemudian berujung pada disorientasi anggaran dan inefektifitas dan inefisiensi pembiayaan pembangunan. Bahkan banyak dari proyek-proyek yang dilaksanakan oleh pemerintah hanya sebagian kecil saja yang benar-benar digunakan untuk membiayai pembangunan. Sebagian besar telah bocor baik dalam proses pencairan anggaran dari ke daerah dan dari pusat kepada departemen-departemen; legitimasi urgensi atau kepentingan satu proyek; atau bahkan dalam proses auditing anggaran suatu proyek.
Disorientasi anggaran yang berlangsung ini harus menjadi perhatian serius bagi pemerintah. Beban utang yang semakin meningkat demi pembiayaan pembangunan seharusnya dapat dioptimalkan untuk bidang-bidang atau fungsi-fungsi yang secara nyata dapat memperbaiki pembangunan ekonomi di negeri ini. Namun jelas prasyarat utamanya adalah profesionalisme, transparansi dan konsistensi kebijakan pemerintah. Tanpa ketiga hal tersebut, mustahil kebijakan anggaran dapat dikembali pada jalur yang semestinya apalagi untuk mengoptimalkan anggaran bagi peningkatan pembangunan nasional.

Minggu, 22 Juni 2008

Kebohongan dan Pembodohan Publik oleh Pemerintah Melalui Bantuan Langsung Tunai (BLT)



Kenaikan harga bahan bakar minyak bersubsidi kembali mengundang perdebatan hangat di masyarakat. Salah satu titik perdebatan adalah dampak kebijakan ini terhadap kemiskinan. Dalam hal ini, pihak pemerintah dan staf ahlinya berkeyakinan bahwa kenaikan harga BBM tidak akan menaikkan angka kemiskinan. Mereka bahkan memperkirakan jumlah penduduk miskin bisa ditekan dari 16,6 persen pada 2007 menjadi 14,2-16 persen dari total penduduk pada tahun 2008, dan tahun 2009 mencapai 12,5 persen.
Titik tolak dari keyakinan ini adalah anggapan bahwa program bantuan langsung tunai (BLT) akan mampu mempertahankan jumlah penduduk miskin. Salah seorang staf ahli menteri bahkan secara sesumbar memperkirakan BLT akan menurunkan angka kemiskinan karena menambah rata-rata 25 persen pendapatan penduduk miskin, sementara inflasi rata-rata diperkirakan hanya 11 persen sampai akhir tahun.
Terkait dengan angka inflasi sendiri, angka inflasi rata-rata hingga akhir tahun berpeluang lebih tinggi dari 11 persen. Alasannya sederhana, sampai saat ini belum ada satu upaya terkoordinasi yang serius untuk mengendalikan kenaikan hargaharga secara umum.
Salah satu indikasi dari ketidakseriusan ini adalah pemanfaatan jedah dari wacana ke eksekusi kebijakan kenaikan harga BBM yang tidak optimal. Pemerintah lebih memilih untuk membuat ”iklan publik” dan talk-show ketimbang mengantisipasi imbas kenaikan harga BBM. Menteri Perdagangan menjelaskan di televisi bahwa dia ingin menurunkan harga. tetapi kenyataannya tidak mampu. Sementara, pada saat yang sama, berbagai asosiasi industri, pengusaha, dan serikat buruh berteriak-teriak menuntut kenaikan harga atau upah.
Apa yang kita lihat dan saksikan saat ini barulah first-round effect dari kenaikan harga BBM. Dan belum sama sekali terlihat dampak lanjutan, atau second-round effect terhadap harga dan output.
Penurunan angka kemiskinan sebagai akibat BLT juga sangat diragukan ditinjau dari aspek metodologi. Angka garis kemiskinan di Indonesia pada 2008 dan 2009 diperkirakan akan menjadi Rp 199.000-Rp 200.000 per bulan, atau meningkat 18-19 persen ketimbang garis kemiskinan 2007. Untuk itu, perbaikan kondisi kemiskinan minimal membutuhkan kenaikan konsumsi 20 persen dari orang termiskin. Hal ini mengingat angka kemiskinan di Indonesia diukur menggunakan arus konsumsi, bukannya pendapatan.
Namun, peningkatan konsumsi yang begitu besar dari masyarakat miskin—melebihi angka 18-19 persen peningkatan angka garis kemiskinan—dalam kurun waktu satu-dua tahun sangat tidak realistis. Alasannya, tidak seperti fluktuasi pendapatan yang bisa bersifat drastis, perubahan konsumsi jarang terjadi secara dramatis. Tingkat konsumsi bisa berubah drastis hanya dalam jangka panjang.
Terkait dengan efektivitas bantuan langsung tunai sendiri, beberapa studi menunjukkan bahwa kebijakan ini hanya akan bersifat produktif jika diberikan dalam jumlah yang besar dan memerhatikan berbagai aspek sosio-kultural yang ada (lihat misalnya Devereux 2002, atau Rogers dan Coates 2002). Sementara di Indonesia, jumlah yang diberikan relatif kecil, begitu pula mekanisme dan administrasi pemberiannya jauh dari perhatian yang saksama dari aspek-aspek sosio-kultural sebagaimana yang dimandatkan.
Fakta empiris di Indonesia menunjukkan bahwa BLT tidak mampu menurunkan jumlah orang miskin. Sebaliknya, kenaikan harga BBM telah terbukti menaikkan angka kemiskinan dari 16,0 persen pada 2005 menjadi 17,7 persen pada 2006. Sementara, penurunan angka kemiskinan dari 17,7 persen pada 2006 menjadi 16,6 persen pada 2007, yang digembar-gemborkan sebagai akibat BLT, sesungguhnya tidak signifikan dan berada dalam margin kesalahan.
Dari uraian ini agaknya cukup jelas bahwa provokasi penurunan angka kemiskinan tidak lebih adalah sebuah pembodohan masyarakat.( M Ikhsan Modjo, 2008)

Senin, 09 Juni 2008

Dampak Perubahan Kurikulum bagi Guru dan Siswa



Kurikulum adalah suatu urutan unit isi mengatur sedemikian sehingga pelajaran dari tiap unit mungkin terpenuhi sebagai tindakan tunggal,menyajikan kemampuan yang diuraikan oleh unit yang ditetapakan oleh pelajar itu.(Robert gagne). Indonesia saat ini menerapkan kurikulum KTSP (Kurikulim Tingkat Satuan Pendidikan) yang merupakan penyempurnaan dari kurikulum lama yaitu KBK(Kurikulum Berbasis Kompetensi). Pada awal tahun ajaran 2006/2007 yang lalu, dunia pendidikan kita kembali dikejutkan oleh keluarnya Peraturan Mendiknas Nomor 22, 23, dan 24 tahun 2006 tentang Standar Isi (SI), Standar Kompetensi Lulusan (SKL), dan pelaksanaan SI dan SKL. Keluarnya ketiga Permendiknas tersebut sekaligus menjawab teka-teki pelaksanaan Kurikulum 2004 yang selama ini “menggantung” akibat belum memiliki kekuatan hukum yang tetap. Melalui ketiga Permendiknas tersebut, sekolah (SD, SMP/MTs, SMA/SMK/MA) harus menyusun Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) berdasarkan panduan yang disusun oleh Badan Standar Nasional Pendidikan (BSNP). Satuan pendidikan (baca: sekolah) dapat menerapkan Permendiknas tersebut mulai tahun ajaran 2006/2007 dan paling lambat pada tahun ajaran 2009/2010 semua sekolah harus sudah mulai menerapkannya.
Persoalannya sekarang, apakah KTSP mampu mengantisipasi perubahan dan gerak dinamika zaman ketika semua negara di dunia sudah menjadi sebuah perkampungan global? Apakah KTSP mampu mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa sebagaimana amanat UU Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sisdiknas? Tingginya jam belajar yang harus dilakukan oleh siswa membuat kurikulum ini menjadi kurang efektif. Perubahan-perubahan yang sering terjadi dalam kurikulum bangsa ini membuat siswa dan guru sebagai pengajar kebingungan, siswa harus menyesuaikan cara belajar sedangkan guru harus mampu menerapkan metode dan strategi mengajar yang sesuai dengan aturan yang baru. Hal tersebut dapat memicu ketidakefektifan dalam kegiatan belajar mengajar
Permasalahan yang muncul berikutnya adalah mengenai sustansi dari materi dalam kurikum baru. Dalam kurikulum KBK banyak materi yang dipelajari seharusnya dipelajari tidak diberikan dan materi yang semestinya ada tidak di berikan sehingga siswa tidak dapat belajar dengan efektif dan membuang-buang waktu. Banyak sekolah-sekolah di Indonesia yang tidak siap dalam menerima kurikulum KBK sehingga tidak jarang sekolah yang tetap menerapkan kurikulum 1994 tetapi dengan label KBK. Belum sempurna pelaksanaan kurikulum tersebut tahun 2006 pemerintah membuat kejutan lagi dengan membuat kurikulum baru yang disebut KTSP(Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan)yang diklaim sebagai pengembangan dari kurikulum sebelumnya yang disempurnakan dalam kurikulum ini setiap tingkat satuan pendidikan diberikan kebebasan dalam merancang kurikulumnya sendiri
Namun keluarnya kurikulum ini bukan tanpa hambatan, kurangnya sosialisasi dari pemerintah serta kurangnya pengalaman guru dalam membuat kurikulum mengakibatkan dampak negatif baik bagi siswa maupun guru. Seperti permasalahan sebelumnya dalam kurikulum ini juga terdapat kebingungan yang terjadi materi yang seharusnya ada di semester pertama(pada kurikulum sebelumnya) dipelajari lagi pada semester kedua(pada kurikulum baru) sehingga siswa harus mempelajari mata pelajaran yang sebenarnya sudah mereka ketahui sebelumnya.
Sungguh suatu hal yang ironis, pada negara yang hampir 63 tahun kemerdekaannya ini problem pendidikan di negara kita masih belum dapat teratasi. Konsistensi pemerintah dalam mengentaskan setiap problem yang ada masih perlu dipertanyakan karena pendidikan ini merupakan hal yang sangat fundamental dan fungsional dalam suatu negara. Oleh karena itu kita sebagai bangsa yang besar dan warga negara yang baik harus mampu memberikan masukan yang positif bagi pemerintah kita karena tanpa adanya kerjasama dari pemerintah, aparat maupun rakyat bangsa ini tidak henti-hentinya di timpa permasalahan yang pada akhirnya merusak jati diri bangsa ini

Rabu, 28 Mei 2008

Pengaruh Tingkat Perekonomian Masyarakat Terhadap Kesempatan Mengenyam Pendidikan Bagi Masyarakat

Dalam pasal 27 ayat 2 telah disebutkan bahwa semua orang berhak mendapatkan pekerjaan dan hidup yang layak. Hidup yang layak akan diperoleh ketika seseorang mempunyai pendapatan yang layak dan pendapatan akan diperoleh dengan mempunyai pekerjaan yang tetap. Untuk itu perlu adanya pengadaan lowongan kerja yang cukup dari pemerintah sebagi realisasi dari pasal tersebut. Banyaknya lulusan sekolah tingkat menengah dan perguruan tinggi setiap tahunnya, ternyata tidak sebanding dengan lowongan pekerjaan yang disediakan. Hal itu jelas menambah jumlah pengangguran di Indonesia. Berdasarkan data statistik jumlah pengangguran di Indonesia bertambah 9,5 persen pada tahun 2006 dan jumlahnya mencapai 9,6 juta jiwa. Belum lagi ditambah dengan permasalahan perekrutan tenaga kerja yang kurang profesional dan sarat dengan money politic (Mahmudin, 2007).
Praktek korupsi, kolusi, dan nepotisme yang terjadi di negara ini semakin meningkat. Sepertinya korupsi telah menjadi budaya dan identitas negara ini sehingga sulit untuk dihapuskan, dan yang dirugikan adalah rakyat. Pemerintah yang seharusnya menjadi pelindung rakyat dan tumpuan rakyat dalam melangsungkan hidupnya berubah menjadi sosok yang di benci dan tidak dapat dipercaya oleh rakyat karena hampir seluruh bagian dari pemerintahan melakukan KKN termasuk di dalamnya dunia pendidikan. Pemerintah yang seharusnya meningkatkan perekonomian rakyat dan mencerdaskan kehidupan bangsa nampaknya belum terealisasi. Kondisi perekonomian semakin naik tetapi tidak berkualitas karena belum dapat menaikkan taraf hidup rakyatnya hal tersebut dapat terlihat pada tingkat pendapatan perkapita masyarakat yang masih tergolong rendah dan tingginya angka pengangguran dan kemiskinan di Indonesia.
Hal tersebut menunjukkan bahwa tingkat perekonomian masyarakat Indonesia masih tergolong rendah. Jika hal tersebut tidak segera di atasi maka akan berpengaruh terhadap berbagai aspek kehidupan masyarakat terutama pendidikan karena pada era reformasi, masyarakat Indonesia menginginkan perubahan dalam segala aspek kehidupan bangsa. Kehidupan pendidikan di Indonesia saat ini telah mengarah pada liberalisasi dan komersialisasi sehingga timbul masalah-masalah seperti pemerataan dan diskriminasi antara orang kaya dengan orang miskin di mana orang yang tingkat ekonominya lebih baik dapat memperoleh kesempatan lebih dalam mengenyam pendidikan.
Sejak tahun 1984 Indonesia telah mencanangkan wajib belajar 6 tahun tetapi, gema wajib belajar itu makin hari semakin melemah karena komitmen bangsa ini pada wajib belajar tidak seperti saat dicanangkan. Jika selama ini kita melihat pendidikan tinggi, SMA serta SMP mahal, saat ini untuk memasuki sekolah dasar juga mahal (Mahmudin, 2007). Dapat kita ketahui, hampir semua jenjang sekolah negeri sudah menjadi lembaga komersialisasi karena yang berbicara tidak lagi persyaratan-persyaratan yang ditentukan oleh kurikulum tetapi, justru besarnya biaya masuk untuk sekolah.
Kurangnya pemerataan dalam pendidikan juga dipicu oleh anggaran pendidikan yang belum mencapai 20 persen dari APBN sehingga, pendidikan nasional masih menyisihkan kegetiran-kegetiran bagi rakyat kecil yang tidak mampu untuk mengenyam pendidikan di sekolah. Banyak program-program yang telah direncanakan oleh pemerintah tetapi pada realisasinya masih belum maksimal. Fenomena yang ada menunjukkan bahwa problem yang dihadapi bangsa ini baik dari segi pendidikan dan ekonomi cukup kompleks.
Terwujudnya suatu sistem yang bersih dan bebas dari money politic merupakan harapan semua orang. Upaya untuk melakukan perubahan harus tetap dilakukan. Perlu adanya upaya yang keras dengan hukum yang tegas dari pemerintah serta adanya kerja sama yang solid dari berbagai pihak baik pemerintah, aparatur negara, maupun rakyat untuk mewujudkan hal itu. Pemerintah sebagai wakil rakyat seharusnya dapat meningkatkan kondisi perekonomian negara dan melakukan pemerataan pendidikan yang bebas dari diskriminasi, liberalisasi dan komersialisasi karena pendidikan dan perekonomian merupakan sektor yang fundamental dan fungsional dalam suatu negara, di mana dengan meningkatnya kualitas pendidikan dan perekonomian suatu negara maka kualitas sumber daya manusia yang dihasilkan akan semakin baik sehingga dapat bersaing dengan negara lain di era globalisasi ini.

Selasa, 27 Mei 2008

BBM NAIK,PEMBATASAN PREMIUM, haruskah terjadi?

Rencana pemerintah membatasi premium ke pertamax menunjukkan sikap panik dan rendahnya kemampuan antisipatif tim ekonomi pemerintah. Padahal banyak cara lain yang lebih cerdas tanpa harus menimbulkan masalah baru. Hal ini sekali lagi menunjukkan rendahnya empati dan leadership pemimpin nasional. Untuk itu, Komite BangkitIndonesia menyerukan masyarakat menolak kebijakan tersebut.

Ketua Umum Komite BangkitIndonesia Rizal Ramli menyatakan, kebijakan gampangan dan reaktif seperti itu tidak akan memecahkan masalah. Yang terjadi justru menimbulkan berbagai permasalahan baru. Antara lain, berpontensi menimbulkan kepanikan di tempat penjualan BBM bersubsidi, penyelundupan BBM, dan lainnya.

"Semestinya tim ekonomi pemerintah mampu menempuh kebijakan yang cerdas dan mendasar. Salah satunya membenahi manajemen Pertamina agar lebih efisien dan menekan berbagai kebocoran. Hal mendasar lainnya, adalah mereformasi tata niaga minyak bumi dan gas. Langkah ini dimulai dengan menghapus peran para broker pemburu rente dalam impor minyak. Juga memperbaiki pola bagi hasil dengan contract production sharing agar lebih adil. Tapi semua itu tidak dilakukan karena lemahnya leadership dan karakter pemimpin," ujar Rizal Ramli.

Indonesia sedikitnya mengimpor 369.000 barel minyak mentah dan 210.000 barel BBM (premium, solar, dan minyak tanah) per hari. Dari sini saja, mereka mengantongi komisi US$10-30 cent/barel. Bisa dibayangkan berapa banyak uang negara yang dinikmati para broker itu.

Sementara itu, ketua BangkitIndonesia Iman Sugema mengatakan, kerugian lain juga disebabkan cara pembayaran. Selama ini pengadaan BBM selalu dilakukan dengan cash and carry. Tentu saja ini sangat memberatkan cash flow Pertamina. Akibat lainnya, nilai tukar rupiah juga sering tertekan.

“Jika pemerintah berani menghapuskan peran broker, bukan cuma biaya tinggi yang bisa dihilangkan, tapi sistem pembayaran juga dapat dinegosiasikan paling tidak menjadi tiga bulan. Ini akan sangat membantu cash flow Pertamina dan mengurangi tekanan terhadap rupiah. Tapi ini tidak dilakukan karena eksistensi para broker itu terkait dengan penguasa," papar Iman.
BangkitIndonesia menilai sebetulnya banyak cara untuk mengurangi tekanan APBN 2008. Antara lain dengan menerapkan burden sharing kepada semua stakeholders, baik pemerintah pusat, pemerintah daerah, kalangan bisnis, dan masyarakat luas. Burden sharing dengan dunia bisnis bisa dilakukan dengan pengenaan pajak tambahan (windfall gain tax) kepada perusahaan minyak seiring dengan naiknya harga minyak dunia.

Solusi ini bisa langsung menutupi lonjakan beban subsidi APBN tanpa harus mengorbankan masyarakat. "Lagi pula, cara seperti ini biasa dilakukan di Amerika Serikat dan inggris," kata Iman.

Sementara itu, Sekjen BangkitIndonesia Ferry J Juliantono, mengatakan pemerintah selalu menjadikan tingginya harga minyak dunia sebagai pembenaran dalam membebani rakyat dengan dalih untuk mengamankan APBN. Pada titik ini pemerintah tidak jujur. Karena naiknya harga minyak dunia juga berimplikasi naiknya pendapatan pemerintah dari migas.

Sebagai contoh, lanjut Ferry, kenaikan harga minyak dari US$40/barel menjadi US$60/barel, beban subsidi BBM memang naik dari Rp59 triliun menjadi Rp129 triliun. Tapi di sisi lain, penerimaan pemerintah juga naik dari Rp129 tirliun menjadi Rp213 triliun. Dengan demikian ada selisih positif Rp14 triliun.

"Tapi pemerintah kan selalu sibuk berkampanye beban subsidi meningkat. Sedangkan naiknya penerimaan tidak disebut-sebut. Ini jelas membohongi publik. Sesungguhnya masih banyak celah dan langkah yang diambil pemerintah untuk mendapatkan sumber devisa. Jangan rakyat terus yang harus merogoh kocek lebih dalam untuk mensubsidi pemerintah," ungkap Ferry.

Cara lain yang tidak pernah ditempuh pemerintah adalah merenegosiasi utang luar negeri. Padahal cara ini dipastikan akan mengurangi beban APBN dengan sangat signifikan. Nigeria berhasil memperoleh penghapusan utang sebesar 67% atau senilai US$17 miliar dari sebelumnya US$25 miliar. Bahkan sisanya yang US$8 miliar akan dibeli kembali (buy back) dengan harga diskon besar-besaran.

Begitu juga dengan Argentina, berhasil memperoleh potongan utang hingga 70% atau US$72 miliar dari US$102,6 miliar. Selama beberapa tahun ekonomi Argentina anjlok 11% pada 2002. Namun pada 2003 dan 2004, ekonominya mampu tumbuh 8%. Hal ini terjadi karena APBN-nya tidak dibebani kewajiban cicilan utang yang besar.

“Sayangnya pemerintah kita tidak pernah mau melakukan renegosiasi utang. Tim ekonomi pemerintah lebih suka menyenangkan kreditor asing walaupun harus mengorbankan rakyat. Untuk itu, kami mengajak masyarakat menolak pembatasan premium

CATATAN EKONOMI AKHIR TAHUN

CATATAN EKONOMI AKHIR TAHUN
Kebijakan Ekonomi "Lepas Tangan"
Fakta-fakta di masyarakat seperti semakin banyaknya kasus penyakit akibat rendahnya kualitas gizi dan sanitasi, serta semakin sulitnya mendapatkan pekerjaan, sudah cukup kuat sebagai penegas bahwa saat ini kesejahteraan kelompok masyarakat terutama dari kalangan bawah semakin menurun. Fakta-fakta tersebut sejalan dengan hasil pooling dan survey yang menyimpulkan bahwa “masyarakat menilai pemerintah SBY-JK telah gagal dalam mengelola ekonomi”.
Waktu tiga tahun sudah cukup bagi kita untuk melupakan janji target-target pencapaian SBY-JK seperti pada saat kampanye Pemilihan Presiden maupun yang tertuang dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM 2005-2009) karena hampir semua target telah meleset. Adapun kinerja berbagai indikator makroekonomi hanyalah prestasi semu yang tidak mencerminkan sebuah keberhasilan pembangunan ekonomi. Dari tahun ke tahun, pilihan kebijakan ekonomi pemerintahan SBY-JK bukan mengurai tetapi justru menambah kusut permasalah ekonomi. Langkah yang diambil bukan mengurangi beban ekonomi tetapi kebijakan-kebijakannya justru seringkali menambah berat beban masyarakat dan dunia usaha.
Pada evaluasi akhir tahun ini, Tim Indonesia Bangkit menyimpulkan bahwa kegagalan pemerintahan SBY-JK di bidang ekonomi terutama diakibatkan oleh tidak adanya kebijakan yang efektif dan langsung menyentuh pokok persoalan. Pemerintah masih melanjutkan kebijakan konservatif dan monetaris ala Konsensus Washington. Dalam banyak hal Pemerintah justru tidak banyak melakukan langkah yang memadai dan memilih melempar tanggungjawab atau lepas tangan (hands off economic policy). Untuk menutupi kegagalan, Pemerintah juga tidak segan-segan mencari alasan justifikasi, melakukan akrobat statistik dan lebih mengutamakan kebijakan Tebar Pesona sekadar untuk memperbaiki image di masyarakat.
1. Tahun 2007, kembali lagi pemerintah SBY-JK tidak berhasil menjadikan APBN sebagai stimulus ekonomi. Kegagalan ini tidak hanya membuktikan kinerja pengelolaan APBN yang buruk, tetapi juga menunjukkan pengabaian pemerintah SBY-JK terhadap hak masyarakat untuk mendapatkan peluang kerja yang lebih luas dan untuk hidup lebih layak. Adalah ironis bila realisasi anggaran belanja modal dan barang yang rendah masih terjadi hingga tahun ketiga pemerintahan SBY-JK. Kelemahan dalam mengelola anggaran yang telah terjadi sejak APBN 2005, telah mengakibatkan perlambatan ekonomi. Hingga akhir tahun anggaran 2007, lebih dari 40% belanja modal tidak terserap. Ini berarti Rp 75 triliun lebih anggaran belanja yang semestinya sangat penting untuk mendorong pertumbuhan ekonomi tidak dapat direalisasikan.
Kelemahan dalam pengelolaan APBN telah merugikan masyarakat bawah baik secara langsung maupun tidak langsung. Salah satu contohnya adalah lambannya realisasi program kredit untuk rakyat. Rakyat miskin batal mendapatkan program bantuan kredit karena program ini baru sebatas dicanangkan. Anggaran untuk penjaminan sebesar Rp 1,4 triliun yang tidak dapat dicairkan tepat waktu mengakibatkan bank-bank belum merealisasikan kredit ini. Belum lagi hilangnya peluang masyarakat bawah untuk mendapatkan pekerjaan karena besar anggaran APBN yang hangus karena proyek-proyek infrastruktur terlambat direalisasikan.
Upaya pemerintah dalam menangani masalah utang luar negeri masih saja sama, yaitu membuat utang baru dan terus membebani APBN dengan pembayaran utang lama. Tidak ada upaya untuk pemotongan utang meski pun CGI sudah tidak ada lagi. Dengan kebijakan Bank Dunia yang sudah menyatakan bahwa Indonesia tidak lagi berhak (eligible) untuk mendapatkan bunga murah, maka utang Indonesia saat ini dikenakan suku bunga yang cukup tinggi. Dengan berutang terus pada Bank Dunia, Indonesia sebetulnya dirugikan, karena bunganya yang tinggi dan juga berbagai persyaratan yang menyertainya.
Penumpukan dana Pemerintah Daerah pada Sertifikat Bank Indonesia (SBI) telah mencapai lebih dari Rp 40 triliun rupiah. Kondisi ini mengakibatkan beban bunga yang sangat besar bagi Bank Indonesia. Penumpukan ini juga menyebabkan hilangnya faktor pendorong ekonomi di daerah. Sayangnya, pemerintah SBY-JK terkesan lepas tangan dengan tidak melakukan terobosan untuk menghentikan penumpukan dana Pemerintah Daerah pada SBI. Lepas tangannya Pemerintah pada persoalan ini merupakan kesalahan besar, karena pada saat sumber-sumber pertumbuhan lain seperti konsumsi swasta, investasi dan ekspor tidak dapat diharapkan sebagai pendorong bergeraknya ekonomi riil, maka semestinya peran anggaran pemerintah menjadi sangat penting.
Janji pemerintah SBY-JK untuk meningkatkan efisiensi penggunaan keuangan negara hanya basa-basi karena faktanya masih banyak pemborosan yang dibiarkan tetap terjadi di berbagai departemen. Pembangunan gedung megah di berbagai departemen ekonomi, reformasi birokrasi dengan mendahulukan renumerasi bagi para pejabat tinggi atau minimnya tindak lanjut atas berbagai temuan BPK, justru menunjukkan ketidakseriusan pemerintah SBY-JK untuk melakukan penghematan keuangan negara. Sementara, kebijakan pembatasan premiun yang hanya memberikan potensi penghematan subsidi BBM sebesar Rp 6 triliun justru disegerakan. Padahal dampak kerugian sektor finansial dan ekonomi dari kebijakan ini berpotensi jauh lebih besar dibanding penghematan yang dilakukan.
Contoh lain adalah pengabaian hasil audit BPK tentang cost recovery. Sebagaimana diketahui saat ini cost recovery meningkat sementara lifting minyak cenderung menurun. Disamping itu ada potensi kerugian negara sedikitnya Rp 13 triliun terhadap perhitungan cost recovery periode 2004-Semester I-2005. Namun, Menteri ESDM, Menteri Keuangan dan Badan Pelaksana Kegiatan Hulu Migas (BP Migas) saling lempar tanggung jawab dan lepas tangan dalam melakukan pembenahan dan menindak lanjuti temuan BPK.
2. Produksi minyak yang terus menurun dan tidak pernah memenuhi target selama beberapa tahun terakhir sangat mengganggu APBN. Meskipun pemerintah SBY-JK selalu mengeluhkan hal ini akan tetapi tidak ada langkah konkrit yang dilakukan untuk mendorong peningkatan produksi minyak. Menteri ESDM lepas tangan dan tidak menganggap bahwa masalah tersebut merupakan salah satu tanggung jawabnya. Hingga saat ini tidak ada solusi baik dari sisi regulasi maupun operasional. Demikian juga Menteri Keuangan bergeming tanpa menawarkan solusi terobosan melalui kebijakan fiskal. Hal yang sama terjadi pada kebijakan konversi energi. Lemahnya perencanaan program mengakibatkan tidak ada menteri yang bertanggung jawab penuh atas kesuksesan program ini. Padahal dampak negatif yang ditimbulkan bagi masyarakat bahwah sangat besar.
3. Kegagalan pemerintah SBY-JK dalam memperbaiki kesejahteraan rakyat terjadi akibat kebijakan yang tidak komprehensif. Pemerintah membiarkan kebijakan perdagangan dan industri yang liberal dan kebijakan fiskal yang konservatif sehingga kontraproduktif terhadap pengurangan jumlah rakyat miskin dan penganggur. Sebagaimana diketahui anggaran program pengentasan kemiskinan terus meningkat dari Rp 18 triliun (2004), Rp 23 triliun (2005), Rp 42 triliun (2006) dan Rp 51 triliun (2007). Namun, pada saat anggaran ditambah ternyata jumlah kemiskinan dan pengangguran yang dilaporkan pemerintah turun tidak sebanding dengan peningkatan anggaran. Hal ini terjadi karena pada saat anggaran kemiskinan ditambah, pemerintah SBY-JK mengurangi berbagai subsidi seperti BBM, pupuk, pendidikan, dan kesehatan. Akibatnya maka beban masyarakat kelompok bawah tidak berkurang. Demikian pula saat anggaran penanggulangan kemiskinan ditambah tetapi liberalisasi perdagangan dan industri semakin gencar maka banyak sektor usaha, baik besar maupun kecil, tidak mampu bersaing dan harus melakukan PHK.
4. Sepanjang tahun 2007 telah terjadi kenaikan harga berbagai bahan kebutuhan pokok secara berkepanjangan. Sikap lepas tangan pemerintah SBY-JK yang memilih menyerahkan penyelesaian masalah ini pada mekanisme pasar, merupakan pilihan salah karena telah mengakibatkan tingkat daya beli kelompok masyarakat menengah bawah semakin tertekan. Hingga kuartal III 2007, inflasi makanan mencapai 12.6%. Berbeda dengan masyarakat menengah atas, porsi terbesar pengeluaran kelompok masyarakat bawah adalah untuk memenuhi kebutuhan pokoknya terutama makanan. Oleh karenanya, inflasi tinggi yang terjadi pada berbagai komoditi seperti beras, minyak goreng, gula, terigu, akan sangat memberatkan kelompok masyarakat ini. Apalagi dari hasil survei BPS dan ADB, tingkat inflasi yang dihadapi kelompok miskin jauh lebih tinggi bahkan hampir 2-3 kali lipat inflasi nasional. Pembiaran dan langkah minimal dalam menstabilkan harga kebutuhan pokok, semakin menunjukkan ketidak seriusan pemerintah SBY-JK dalam memperbaiki tingkat kesejahteraan masyarakat.
5. Kebijakan “lepas tangan” ala pemerintah SBY-JK yang cenderung menyerahkan berbagai permasalahan pada mekanisme pasar terjadi di berbagai sektor industri termasuk industri manufaktur telah mengakibatkan deindustrialisasi terus berlangsung dan daya saing industri terus merosot. Bahkan beberapa industri strategis seperti tekstil, produk kayu, dll, yang semestinya masih menjadi sektor andalan terpaksa memasuki periode sunset. Terjadinya proses deindustrialisasi telah dapat dilihat dari sejumlah indikator, seperti: pertumbuhan sektor manufaktur yang menurun, kontribusi sektor manufaktur terhadap PDB yang semakin kecil, membanjirnya produk-produk impor bernilai tambah rendah, kandungan impor dari produk-produk yang beredar semakin besar, terjadinya relokasi industri yang semakin sering, kredit ke sektor manufaktur yang menurun, dan kemampuan penciptalaan lapangan di sektor manufaktur yang semakin rendah, dll. Pertumbuhan industri pengolahan bukan migas, diukur pada harga konstan 2000, terus turun dari 7,5% (2004) ke 5,9% (2005), terus ke 5,3% (2006) dan sampai Kuartal III 2007 baru mencapai 5,3%.
6. Selama tiga tahun berkuasa, presiden SBY-JK melupakan janji muluk pembangunan sektor pertanian. Revitalisasi Pertanian, Perikanan dan Kehutanan (RPPK) hanya berhenti pada tataran ide, retorika dan berbagai seremonial pencanangan. Akibat ignorance dan ketidakberpihakan pemerintah terhadap pembangunan pertanian ini, telah menghilangkan kesempatan petani Indonesia untuk meraih keuntungan dari lonjakan harga produk pertanian di pasar global. Seharusnya Indonesia dapat memanfaatkan keunggulannya sebagai salah satu produsen komoditas pertanian ternama, terutama dalam subsektor perkebunan. Akan tetapi, yang terjadi justru sebaliknya. Sikap lepas tangan dan absennya strategi kebijakan sektor pertanian yang memihak kepada petani kecil dan menengah, maka windfall profit dari perubahan kondisi eksternal hanya dinikmati oleh segelintir pelaku. Sebaliknya, tiadanya strategi pengembangan agro-industri, semakin menjadikan Indonesia tergantung pada impor produk pangan strategis seperti beras, kedelai, gula dan jagung. Akibatnya, ketika terjadi lonjakan harga produk pertanian dunia, selain tidak dapat mendapatkan manfaat, justru menjadi bencana bagi masyarakat bawah termasuk para petani kecil karena naiknya harga produk pertanian di dalam negeri. Sebagai contoh, drama lonjakan harga minyak goreng di dalam negeri terjadi karena produsen memilih untuk mengekspor CPO ke pasar dunia. Akhirnya respon pemerintah hanyalah kepanikan pemerintah terhadap inflasi. Namun sayang, hal terpenting justru dilupakan yakni upaya peningkatan produksi dalam negeri melalui kebijakan dan progam pembangunan pertanian dan pangan.
Kelalaian pemerintah SBY-JK selama ini dalam meningkatkan competitiveness produk hilir atau turunan dari komoditas perkebunan strategis seperti kopi, karet, cokelat, tebu, tembakau, dll, telah berakhir dengan penderitaan petani. Minimnya insentif yang diberikan pemerintah, lemahnya kapasitas kelembagaan dan sikap kewirausahaan yang dimiliki petani, kelompok dan masyarakatnya, menjadikan tingkat harga petani (farm-gate price) relatif rendah, jauh dari harga internasional. Sistem insentif yang salah menyebabkan sektor pertanian tidak berkembang. Kredit perbankan, insentif fiskal, dan pembangunan infrastruktur misalnya tidak diarahkan kepada sektor pertanian. Pembangunan pertanian hanya didekati secara sektoral dan melupakan keterkaitan dengan sektor lainnya seperti industri (off-farm), infrastruktur, dan keuangan serta energi. Akibatnya sangat sedikit nilai tambah yang dapat dinikmati petani karena komoditas agribisnis Indonesia banyak menghadapi kegagalan pasar dan kegagalan pemerintah sekaligus.
7. Klaim bahwa pemerintah SBY-JK telah mendorong sektor riil dan UKM terbukti hanya sekadar klaim. Inpres No. 6/2007 tentang Kebijakan Percepatan Pengembangan Sektor Riil dan Pemberdayaan Usaha Mikro, Kecil dan Menengah, merupakan bukti lemahnya kemampuan pemerintah untuk berperan aktif dan melakukan langkah konkrit. Sebagaimana hasil evaluasi TIB, paket tersebut bukanlah langkah serius dan cerdas karena sekadar kompilasi dari kegiatan rutin departemen dan hanya kumpulan berbagai rencana administratif dan birokratif. Bahkan untuk langkah administratif pun tidak berkinerja baik. Target pengurusan ijin pendirian usaha yang dipatok 25 hari misalnya, tidak terealisasi. Demikian pula target waktu untuk melakukan custom clearance (bea cukai) dan VAT Refund (restitusi PPN). Bahkan sertifikasi tanah yang diunggulkan dalam Inpres No.6, pencapaiannya justru mengalami penurunan dari 33,29% (2006) menjadi hanya 0,26% (2007).
Belum lagi realisasi Inpres No.6/2007 tentang percepatan pembangunan infrastruktur. Pembangunan jalan tol yang di targetkan sepanjang 1500 km selama lima tahun (2005-2009) atau 300 km per tahun. Faktanya, selama 3 tahun pertama hanya tercapai 47,83 km atau 5,3%% saja dari target karena pemerintah SBY-JK lamban dan tidak mampu melakukan langkah terobosan.
8. Sayangnya, investasi pemerintah maupun swasta yang rendah dan gerak sektor riil yang lamban, kembali akan diselesaikan dengan paket kebijakan ala Inpres No. 6/2007 pada akhir tahun 2007. Tujuanya untuk mengatur peran Pemda yang dinilai tidak aktif terlibat dalam mendorong pembangunan. Pilihan ini selain membuktikan bahwa pemerintah SBY-JK tidak dapat mengambil pelajaran dari kegagalan Inpres No.6/2007, juga merupakan bukti lain bahwa pemerintah pusat sangat lihai menimpakan kegagalan pada pihak lain. Rendahnya realisasi anggaran belanja modal baik di pusat maupun daerah telah terjadi sejak APBN 2005. Demikian juga penumpukan dana Pemda di SBI telah berlangsung dari tahun ke tahun tanpa pernah dihentikan dengan langkah terobosan. Bahkan, penempatan dana Pemda di berbagai instrumen utang akan difasilitasi dengan regulasi. Windfall profit Pemda dari kenaikan harga minyak dunia pun diberikan dalam bentuk obligasi atau instrumen utang bukan digunakan untuk mendorong kegiatan ekonomi.
9. Pilihan kebijakan moneter dan perbankan ternyata telah mengakibatkan terjadinya penurunan kesejahteraan dan daya beli masyarakat, terutama kelompok menengah bawah, baik lewat penyimpanan dana maupun kredit. Saat ini, masyarakat yang menyimpan dana dalam bentuk deposito, memperoleh pendapatan bunga antara 6-7% per tahun. Setelah dipotong pajak pendapatan para deposan sekitar 5,2% per tahun. Bila dikurangi biaya administrasi bank yang rata-rata sekitar 1-1,5% per tahun, maka hanya menyisakan pendapatan bersih sekitar 4,5% per tahun. Angka ini di bawah inflasi yang sekitar 6%. Kondisi lebih parah pada masyarakat yang menyimpan dalam bentuk tabungan. Dengan bunga rata-rata di bawah 3% per tahun, maka pendapatan bunga kelompok ini menjadi negatif. Di sisi pinjaman, termasuk pinjaman pemilikan rumah (KPR), rata-rata masih di atas 10% per tahun flat. Ini berarti spread antara bunga tabungan dan pinjaman sangat tinggi, sekitar 6%. Angka biaya operasi dibanding pendapatan operasi (BOPO) di atas 80%, lebih tinggi dibanding di negara-negara lain yang hanya sekitar 60%, membuktikan tingkat efisiensi yang rendah.
Dengan kebijakan ekonomi “lepas tangan“ ala Pemerintahan SBY-JK, sulit mengharapkan ekonomi Indonesia untuk bangkit, meningkatkan lapangan pekerjaan dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Upaya melakukan akrobat statistik dengan mengganti metodologi seperti halnya kebijakan Tebar Pesona sekadar untuk memperbaiki image di masyarakat, sama sekali tidak membantu memecahkan persoalan.