Rabu, 28 Mei 2008

Pengaruh Tingkat Perekonomian Masyarakat Terhadap Kesempatan Mengenyam Pendidikan Bagi Masyarakat

Dalam pasal 27 ayat 2 telah disebutkan bahwa semua orang berhak mendapatkan pekerjaan dan hidup yang layak. Hidup yang layak akan diperoleh ketika seseorang mempunyai pendapatan yang layak dan pendapatan akan diperoleh dengan mempunyai pekerjaan yang tetap. Untuk itu perlu adanya pengadaan lowongan kerja yang cukup dari pemerintah sebagi realisasi dari pasal tersebut. Banyaknya lulusan sekolah tingkat menengah dan perguruan tinggi setiap tahunnya, ternyata tidak sebanding dengan lowongan pekerjaan yang disediakan. Hal itu jelas menambah jumlah pengangguran di Indonesia. Berdasarkan data statistik jumlah pengangguran di Indonesia bertambah 9,5 persen pada tahun 2006 dan jumlahnya mencapai 9,6 juta jiwa. Belum lagi ditambah dengan permasalahan perekrutan tenaga kerja yang kurang profesional dan sarat dengan money politic (Mahmudin, 2007).
Praktek korupsi, kolusi, dan nepotisme yang terjadi di negara ini semakin meningkat. Sepertinya korupsi telah menjadi budaya dan identitas negara ini sehingga sulit untuk dihapuskan, dan yang dirugikan adalah rakyat. Pemerintah yang seharusnya menjadi pelindung rakyat dan tumpuan rakyat dalam melangsungkan hidupnya berubah menjadi sosok yang di benci dan tidak dapat dipercaya oleh rakyat karena hampir seluruh bagian dari pemerintahan melakukan KKN termasuk di dalamnya dunia pendidikan. Pemerintah yang seharusnya meningkatkan perekonomian rakyat dan mencerdaskan kehidupan bangsa nampaknya belum terealisasi. Kondisi perekonomian semakin naik tetapi tidak berkualitas karena belum dapat menaikkan taraf hidup rakyatnya hal tersebut dapat terlihat pada tingkat pendapatan perkapita masyarakat yang masih tergolong rendah dan tingginya angka pengangguran dan kemiskinan di Indonesia.
Hal tersebut menunjukkan bahwa tingkat perekonomian masyarakat Indonesia masih tergolong rendah. Jika hal tersebut tidak segera di atasi maka akan berpengaruh terhadap berbagai aspek kehidupan masyarakat terutama pendidikan karena pada era reformasi, masyarakat Indonesia menginginkan perubahan dalam segala aspek kehidupan bangsa. Kehidupan pendidikan di Indonesia saat ini telah mengarah pada liberalisasi dan komersialisasi sehingga timbul masalah-masalah seperti pemerataan dan diskriminasi antara orang kaya dengan orang miskin di mana orang yang tingkat ekonominya lebih baik dapat memperoleh kesempatan lebih dalam mengenyam pendidikan.
Sejak tahun 1984 Indonesia telah mencanangkan wajib belajar 6 tahun tetapi, gema wajib belajar itu makin hari semakin melemah karena komitmen bangsa ini pada wajib belajar tidak seperti saat dicanangkan. Jika selama ini kita melihat pendidikan tinggi, SMA serta SMP mahal, saat ini untuk memasuki sekolah dasar juga mahal (Mahmudin, 2007). Dapat kita ketahui, hampir semua jenjang sekolah negeri sudah menjadi lembaga komersialisasi karena yang berbicara tidak lagi persyaratan-persyaratan yang ditentukan oleh kurikulum tetapi, justru besarnya biaya masuk untuk sekolah.
Kurangnya pemerataan dalam pendidikan juga dipicu oleh anggaran pendidikan yang belum mencapai 20 persen dari APBN sehingga, pendidikan nasional masih menyisihkan kegetiran-kegetiran bagi rakyat kecil yang tidak mampu untuk mengenyam pendidikan di sekolah. Banyak program-program yang telah direncanakan oleh pemerintah tetapi pada realisasinya masih belum maksimal. Fenomena yang ada menunjukkan bahwa problem yang dihadapi bangsa ini baik dari segi pendidikan dan ekonomi cukup kompleks.
Terwujudnya suatu sistem yang bersih dan bebas dari money politic merupakan harapan semua orang. Upaya untuk melakukan perubahan harus tetap dilakukan. Perlu adanya upaya yang keras dengan hukum yang tegas dari pemerintah serta adanya kerja sama yang solid dari berbagai pihak baik pemerintah, aparatur negara, maupun rakyat untuk mewujudkan hal itu. Pemerintah sebagai wakil rakyat seharusnya dapat meningkatkan kondisi perekonomian negara dan melakukan pemerataan pendidikan yang bebas dari diskriminasi, liberalisasi dan komersialisasi karena pendidikan dan perekonomian merupakan sektor yang fundamental dan fungsional dalam suatu negara, di mana dengan meningkatnya kualitas pendidikan dan perekonomian suatu negara maka kualitas sumber daya manusia yang dihasilkan akan semakin baik sehingga dapat bersaing dengan negara lain di era globalisasi ini.

Selasa, 27 Mei 2008

BBM NAIK,PEMBATASAN PREMIUM, haruskah terjadi?

Rencana pemerintah membatasi premium ke pertamax menunjukkan sikap panik dan rendahnya kemampuan antisipatif tim ekonomi pemerintah. Padahal banyak cara lain yang lebih cerdas tanpa harus menimbulkan masalah baru. Hal ini sekali lagi menunjukkan rendahnya empati dan leadership pemimpin nasional. Untuk itu, Komite BangkitIndonesia menyerukan masyarakat menolak kebijakan tersebut.

Ketua Umum Komite BangkitIndonesia Rizal Ramli menyatakan, kebijakan gampangan dan reaktif seperti itu tidak akan memecahkan masalah. Yang terjadi justru menimbulkan berbagai permasalahan baru. Antara lain, berpontensi menimbulkan kepanikan di tempat penjualan BBM bersubsidi, penyelundupan BBM, dan lainnya.

"Semestinya tim ekonomi pemerintah mampu menempuh kebijakan yang cerdas dan mendasar. Salah satunya membenahi manajemen Pertamina agar lebih efisien dan menekan berbagai kebocoran. Hal mendasar lainnya, adalah mereformasi tata niaga minyak bumi dan gas. Langkah ini dimulai dengan menghapus peran para broker pemburu rente dalam impor minyak. Juga memperbaiki pola bagi hasil dengan contract production sharing agar lebih adil. Tapi semua itu tidak dilakukan karena lemahnya leadership dan karakter pemimpin," ujar Rizal Ramli.

Indonesia sedikitnya mengimpor 369.000 barel minyak mentah dan 210.000 barel BBM (premium, solar, dan minyak tanah) per hari. Dari sini saja, mereka mengantongi komisi US$10-30 cent/barel. Bisa dibayangkan berapa banyak uang negara yang dinikmati para broker itu.

Sementara itu, ketua BangkitIndonesia Iman Sugema mengatakan, kerugian lain juga disebabkan cara pembayaran. Selama ini pengadaan BBM selalu dilakukan dengan cash and carry. Tentu saja ini sangat memberatkan cash flow Pertamina. Akibat lainnya, nilai tukar rupiah juga sering tertekan.

“Jika pemerintah berani menghapuskan peran broker, bukan cuma biaya tinggi yang bisa dihilangkan, tapi sistem pembayaran juga dapat dinegosiasikan paling tidak menjadi tiga bulan. Ini akan sangat membantu cash flow Pertamina dan mengurangi tekanan terhadap rupiah. Tapi ini tidak dilakukan karena eksistensi para broker itu terkait dengan penguasa," papar Iman.
BangkitIndonesia menilai sebetulnya banyak cara untuk mengurangi tekanan APBN 2008. Antara lain dengan menerapkan burden sharing kepada semua stakeholders, baik pemerintah pusat, pemerintah daerah, kalangan bisnis, dan masyarakat luas. Burden sharing dengan dunia bisnis bisa dilakukan dengan pengenaan pajak tambahan (windfall gain tax) kepada perusahaan minyak seiring dengan naiknya harga minyak dunia.

Solusi ini bisa langsung menutupi lonjakan beban subsidi APBN tanpa harus mengorbankan masyarakat. "Lagi pula, cara seperti ini biasa dilakukan di Amerika Serikat dan inggris," kata Iman.

Sementara itu, Sekjen BangkitIndonesia Ferry J Juliantono, mengatakan pemerintah selalu menjadikan tingginya harga minyak dunia sebagai pembenaran dalam membebani rakyat dengan dalih untuk mengamankan APBN. Pada titik ini pemerintah tidak jujur. Karena naiknya harga minyak dunia juga berimplikasi naiknya pendapatan pemerintah dari migas.

Sebagai contoh, lanjut Ferry, kenaikan harga minyak dari US$40/barel menjadi US$60/barel, beban subsidi BBM memang naik dari Rp59 triliun menjadi Rp129 triliun. Tapi di sisi lain, penerimaan pemerintah juga naik dari Rp129 tirliun menjadi Rp213 triliun. Dengan demikian ada selisih positif Rp14 triliun.

"Tapi pemerintah kan selalu sibuk berkampanye beban subsidi meningkat. Sedangkan naiknya penerimaan tidak disebut-sebut. Ini jelas membohongi publik. Sesungguhnya masih banyak celah dan langkah yang diambil pemerintah untuk mendapatkan sumber devisa. Jangan rakyat terus yang harus merogoh kocek lebih dalam untuk mensubsidi pemerintah," ungkap Ferry.

Cara lain yang tidak pernah ditempuh pemerintah adalah merenegosiasi utang luar negeri. Padahal cara ini dipastikan akan mengurangi beban APBN dengan sangat signifikan. Nigeria berhasil memperoleh penghapusan utang sebesar 67% atau senilai US$17 miliar dari sebelumnya US$25 miliar. Bahkan sisanya yang US$8 miliar akan dibeli kembali (buy back) dengan harga diskon besar-besaran.

Begitu juga dengan Argentina, berhasil memperoleh potongan utang hingga 70% atau US$72 miliar dari US$102,6 miliar. Selama beberapa tahun ekonomi Argentina anjlok 11% pada 2002. Namun pada 2003 dan 2004, ekonominya mampu tumbuh 8%. Hal ini terjadi karena APBN-nya tidak dibebani kewajiban cicilan utang yang besar.

“Sayangnya pemerintah kita tidak pernah mau melakukan renegosiasi utang. Tim ekonomi pemerintah lebih suka menyenangkan kreditor asing walaupun harus mengorbankan rakyat. Untuk itu, kami mengajak masyarakat menolak pembatasan premium

CATATAN EKONOMI AKHIR TAHUN

CATATAN EKONOMI AKHIR TAHUN
Kebijakan Ekonomi "Lepas Tangan"
Fakta-fakta di masyarakat seperti semakin banyaknya kasus penyakit akibat rendahnya kualitas gizi dan sanitasi, serta semakin sulitnya mendapatkan pekerjaan, sudah cukup kuat sebagai penegas bahwa saat ini kesejahteraan kelompok masyarakat terutama dari kalangan bawah semakin menurun. Fakta-fakta tersebut sejalan dengan hasil pooling dan survey yang menyimpulkan bahwa “masyarakat menilai pemerintah SBY-JK telah gagal dalam mengelola ekonomi”.
Waktu tiga tahun sudah cukup bagi kita untuk melupakan janji target-target pencapaian SBY-JK seperti pada saat kampanye Pemilihan Presiden maupun yang tertuang dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM 2005-2009) karena hampir semua target telah meleset. Adapun kinerja berbagai indikator makroekonomi hanyalah prestasi semu yang tidak mencerminkan sebuah keberhasilan pembangunan ekonomi. Dari tahun ke tahun, pilihan kebijakan ekonomi pemerintahan SBY-JK bukan mengurai tetapi justru menambah kusut permasalah ekonomi. Langkah yang diambil bukan mengurangi beban ekonomi tetapi kebijakan-kebijakannya justru seringkali menambah berat beban masyarakat dan dunia usaha.
Pada evaluasi akhir tahun ini, Tim Indonesia Bangkit menyimpulkan bahwa kegagalan pemerintahan SBY-JK di bidang ekonomi terutama diakibatkan oleh tidak adanya kebijakan yang efektif dan langsung menyentuh pokok persoalan. Pemerintah masih melanjutkan kebijakan konservatif dan monetaris ala Konsensus Washington. Dalam banyak hal Pemerintah justru tidak banyak melakukan langkah yang memadai dan memilih melempar tanggungjawab atau lepas tangan (hands off economic policy). Untuk menutupi kegagalan, Pemerintah juga tidak segan-segan mencari alasan justifikasi, melakukan akrobat statistik dan lebih mengutamakan kebijakan Tebar Pesona sekadar untuk memperbaiki image di masyarakat.
1. Tahun 2007, kembali lagi pemerintah SBY-JK tidak berhasil menjadikan APBN sebagai stimulus ekonomi. Kegagalan ini tidak hanya membuktikan kinerja pengelolaan APBN yang buruk, tetapi juga menunjukkan pengabaian pemerintah SBY-JK terhadap hak masyarakat untuk mendapatkan peluang kerja yang lebih luas dan untuk hidup lebih layak. Adalah ironis bila realisasi anggaran belanja modal dan barang yang rendah masih terjadi hingga tahun ketiga pemerintahan SBY-JK. Kelemahan dalam mengelola anggaran yang telah terjadi sejak APBN 2005, telah mengakibatkan perlambatan ekonomi. Hingga akhir tahun anggaran 2007, lebih dari 40% belanja modal tidak terserap. Ini berarti Rp 75 triliun lebih anggaran belanja yang semestinya sangat penting untuk mendorong pertumbuhan ekonomi tidak dapat direalisasikan.
Kelemahan dalam pengelolaan APBN telah merugikan masyarakat bawah baik secara langsung maupun tidak langsung. Salah satu contohnya adalah lambannya realisasi program kredit untuk rakyat. Rakyat miskin batal mendapatkan program bantuan kredit karena program ini baru sebatas dicanangkan. Anggaran untuk penjaminan sebesar Rp 1,4 triliun yang tidak dapat dicairkan tepat waktu mengakibatkan bank-bank belum merealisasikan kredit ini. Belum lagi hilangnya peluang masyarakat bawah untuk mendapatkan pekerjaan karena besar anggaran APBN yang hangus karena proyek-proyek infrastruktur terlambat direalisasikan.
Upaya pemerintah dalam menangani masalah utang luar negeri masih saja sama, yaitu membuat utang baru dan terus membebani APBN dengan pembayaran utang lama. Tidak ada upaya untuk pemotongan utang meski pun CGI sudah tidak ada lagi. Dengan kebijakan Bank Dunia yang sudah menyatakan bahwa Indonesia tidak lagi berhak (eligible) untuk mendapatkan bunga murah, maka utang Indonesia saat ini dikenakan suku bunga yang cukup tinggi. Dengan berutang terus pada Bank Dunia, Indonesia sebetulnya dirugikan, karena bunganya yang tinggi dan juga berbagai persyaratan yang menyertainya.
Penumpukan dana Pemerintah Daerah pada Sertifikat Bank Indonesia (SBI) telah mencapai lebih dari Rp 40 triliun rupiah. Kondisi ini mengakibatkan beban bunga yang sangat besar bagi Bank Indonesia. Penumpukan ini juga menyebabkan hilangnya faktor pendorong ekonomi di daerah. Sayangnya, pemerintah SBY-JK terkesan lepas tangan dengan tidak melakukan terobosan untuk menghentikan penumpukan dana Pemerintah Daerah pada SBI. Lepas tangannya Pemerintah pada persoalan ini merupakan kesalahan besar, karena pada saat sumber-sumber pertumbuhan lain seperti konsumsi swasta, investasi dan ekspor tidak dapat diharapkan sebagai pendorong bergeraknya ekonomi riil, maka semestinya peran anggaran pemerintah menjadi sangat penting.
Janji pemerintah SBY-JK untuk meningkatkan efisiensi penggunaan keuangan negara hanya basa-basi karena faktanya masih banyak pemborosan yang dibiarkan tetap terjadi di berbagai departemen. Pembangunan gedung megah di berbagai departemen ekonomi, reformasi birokrasi dengan mendahulukan renumerasi bagi para pejabat tinggi atau minimnya tindak lanjut atas berbagai temuan BPK, justru menunjukkan ketidakseriusan pemerintah SBY-JK untuk melakukan penghematan keuangan negara. Sementara, kebijakan pembatasan premiun yang hanya memberikan potensi penghematan subsidi BBM sebesar Rp 6 triliun justru disegerakan. Padahal dampak kerugian sektor finansial dan ekonomi dari kebijakan ini berpotensi jauh lebih besar dibanding penghematan yang dilakukan.
Contoh lain adalah pengabaian hasil audit BPK tentang cost recovery. Sebagaimana diketahui saat ini cost recovery meningkat sementara lifting minyak cenderung menurun. Disamping itu ada potensi kerugian negara sedikitnya Rp 13 triliun terhadap perhitungan cost recovery periode 2004-Semester I-2005. Namun, Menteri ESDM, Menteri Keuangan dan Badan Pelaksana Kegiatan Hulu Migas (BP Migas) saling lempar tanggung jawab dan lepas tangan dalam melakukan pembenahan dan menindak lanjuti temuan BPK.
2. Produksi minyak yang terus menurun dan tidak pernah memenuhi target selama beberapa tahun terakhir sangat mengganggu APBN. Meskipun pemerintah SBY-JK selalu mengeluhkan hal ini akan tetapi tidak ada langkah konkrit yang dilakukan untuk mendorong peningkatan produksi minyak. Menteri ESDM lepas tangan dan tidak menganggap bahwa masalah tersebut merupakan salah satu tanggung jawabnya. Hingga saat ini tidak ada solusi baik dari sisi regulasi maupun operasional. Demikian juga Menteri Keuangan bergeming tanpa menawarkan solusi terobosan melalui kebijakan fiskal. Hal yang sama terjadi pada kebijakan konversi energi. Lemahnya perencanaan program mengakibatkan tidak ada menteri yang bertanggung jawab penuh atas kesuksesan program ini. Padahal dampak negatif yang ditimbulkan bagi masyarakat bahwah sangat besar.
3. Kegagalan pemerintah SBY-JK dalam memperbaiki kesejahteraan rakyat terjadi akibat kebijakan yang tidak komprehensif. Pemerintah membiarkan kebijakan perdagangan dan industri yang liberal dan kebijakan fiskal yang konservatif sehingga kontraproduktif terhadap pengurangan jumlah rakyat miskin dan penganggur. Sebagaimana diketahui anggaran program pengentasan kemiskinan terus meningkat dari Rp 18 triliun (2004), Rp 23 triliun (2005), Rp 42 triliun (2006) dan Rp 51 triliun (2007). Namun, pada saat anggaran ditambah ternyata jumlah kemiskinan dan pengangguran yang dilaporkan pemerintah turun tidak sebanding dengan peningkatan anggaran. Hal ini terjadi karena pada saat anggaran kemiskinan ditambah, pemerintah SBY-JK mengurangi berbagai subsidi seperti BBM, pupuk, pendidikan, dan kesehatan. Akibatnya maka beban masyarakat kelompok bawah tidak berkurang. Demikian pula saat anggaran penanggulangan kemiskinan ditambah tetapi liberalisasi perdagangan dan industri semakin gencar maka banyak sektor usaha, baik besar maupun kecil, tidak mampu bersaing dan harus melakukan PHK.
4. Sepanjang tahun 2007 telah terjadi kenaikan harga berbagai bahan kebutuhan pokok secara berkepanjangan. Sikap lepas tangan pemerintah SBY-JK yang memilih menyerahkan penyelesaian masalah ini pada mekanisme pasar, merupakan pilihan salah karena telah mengakibatkan tingkat daya beli kelompok masyarakat menengah bawah semakin tertekan. Hingga kuartal III 2007, inflasi makanan mencapai 12.6%. Berbeda dengan masyarakat menengah atas, porsi terbesar pengeluaran kelompok masyarakat bawah adalah untuk memenuhi kebutuhan pokoknya terutama makanan. Oleh karenanya, inflasi tinggi yang terjadi pada berbagai komoditi seperti beras, minyak goreng, gula, terigu, akan sangat memberatkan kelompok masyarakat ini. Apalagi dari hasil survei BPS dan ADB, tingkat inflasi yang dihadapi kelompok miskin jauh lebih tinggi bahkan hampir 2-3 kali lipat inflasi nasional. Pembiaran dan langkah minimal dalam menstabilkan harga kebutuhan pokok, semakin menunjukkan ketidak seriusan pemerintah SBY-JK dalam memperbaiki tingkat kesejahteraan masyarakat.
5. Kebijakan “lepas tangan” ala pemerintah SBY-JK yang cenderung menyerahkan berbagai permasalahan pada mekanisme pasar terjadi di berbagai sektor industri termasuk industri manufaktur telah mengakibatkan deindustrialisasi terus berlangsung dan daya saing industri terus merosot. Bahkan beberapa industri strategis seperti tekstil, produk kayu, dll, yang semestinya masih menjadi sektor andalan terpaksa memasuki periode sunset. Terjadinya proses deindustrialisasi telah dapat dilihat dari sejumlah indikator, seperti: pertumbuhan sektor manufaktur yang menurun, kontribusi sektor manufaktur terhadap PDB yang semakin kecil, membanjirnya produk-produk impor bernilai tambah rendah, kandungan impor dari produk-produk yang beredar semakin besar, terjadinya relokasi industri yang semakin sering, kredit ke sektor manufaktur yang menurun, dan kemampuan penciptalaan lapangan di sektor manufaktur yang semakin rendah, dll. Pertumbuhan industri pengolahan bukan migas, diukur pada harga konstan 2000, terus turun dari 7,5% (2004) ke 5,9% (2005), terus ke 5,3% (2006) dan sampai Kuartal III 2007 baru mencapai 5,3%.
6. Selama tiga tahun berkuasa, presiden SBY-JK melupakan janji muluk pembangunan sektor pertanian. Revitalisasi Pertanian, Perikanan dan Kehutanan (RPPK) hanya berhenti pada tataran ide, retorika dan berbagai seremonial pencanangan. Akibat ignorance dan ketidakberpihakan pemerintah terhadap pembangunan pertanian ini, telah menghilangkan kesempatan petani Indonesia untuk meraih keuntungan dari lonjakan harga produk pertanian di pasar global. Seharusnya Indonesia dapat memanfaatkan keunggulannya sebagai salah satu produsen komoditas pertanian ternama, terutama dalam subsektor perkebunan. Akan tetapi, yang terjadi justru sebaliknya. Sikap lepas tangan dan absennya strategi kebijakan sektor pertanian yang memihak kepada petani kecil dan menengah, maka windfall profit dari perubahan kondisi eksternal hanya dinikmati oleh segelintir pelaku. Sebaliknya, tiadanya strategi pengembangan agro-industri, semakin menjadikan Indonesia tergantung pada impor produk pangan strategis seperti beras, kedelai, gula dan jagung. Akibatnya, ketika terjadi lonjakan harga produk pertanian dunia, selain tidak dapat mendapatkan manfaat, justru menjadi bencana bagi masyarakat bawah termasuk para petani kecil karena naiknya harga produk pertanian di dalam negeri. Sebagai contoh, drama lonjakan harga minyak goreng di dalam negeri terjadi karena produsen memilih untuk mengekspor CPO ke pasar dunia. Akhirnya respon pemerintah hanyalah kepanikan pemerintah terhadap inflasi. Namun sayang, hal terpenting justru dilupakan yakni upaya peningkatan produksi dalam negeri melalui kebijakan dan progam pembangunan pertanian dan pangan.
Kelalaian pemerintah SBY-JK selama ini dalam meningkatkan competitiveness produk hilir atau turunan dari komoditas perkebunan strategis seperti kopi, karet, cokelat, tebu, tembakau, dll, telah berakhir dengan penderitaan petani. Minimnya insentif yang diberikan pemerintah, lemahnya kapasitas kelembagaan dan sikap kewirausahaan yang dimiliki petani, kelompok dan masyarakatnya, menjadikan tingkat harga petani (farm-gate price) relatif rendah, jauh dari harga internasional. Sistem insentif yang salah menyebabkan sektor pertanian tidak berkembang. Kredit perbankan, insentif fiskal, dan pembangunan infrastruktur misalnya tidak diarahkan kepada sektor pertanian. Pembangunan pertanian hanya didekati secara sektoral dan melupakan keterkaitan dengan sektor lainnya seperti industri (off-farm), infrastruktur, dan keuangan serta energi. Akibatnya sangat sedikit nilai tambah yang dapat dinikmati petani karena komoditas agribisnis Indonesia banyak menghadapi kegagalan pasar dan kegagalan pemerintah sekaligus.
7. Klaim bahwa pemerintah SBY-JK telah mendorong sektor riil dan UKM terbukti hanya sekadar klaim. Inpres No. 6/2007 tentang Kebijakan Percepatan Pengembangan Sektor Riil dan Pemberdayaan Usaha Mikro, Kecil dan Menengah, merupakan bukti lemahnya kemampuan pemerintah untuk berperan aktif dan melakukan langkah konkrit. Sebagaimana hasil evaluasi TIB, paket tersebut bukanlah langkah serius dan cerdas karena sekadar kompilasi dari kegiatan rutin departemen dan hanya kumpulan berbagai rencana administratif dan birokratif. Bahkan untuk langkah administratif pun tidak berkinerja baik. Target pengurusan ijin pendirian usaha yang dipatok 25 hari misalnya, tidak terealisasi. Demikian pula target waktu untuk melakukan custom clearance (bea cukai) dan VAT Refund (restitusi PPN). Bahkan sertifikasi tanah yang diunggulkan dalam Inpres No.6, pencapaiannya justru mengalami penurunan dari 33,29% (2006) menjadi hanya 0,26% (2007).
Belum lagi realisasi Inpres No.6/2007 tentang percepatan pembangunan infrastruktur. Pembangunan jalan tol yang di targetkan sepanjang 1500 km selama lima tahun (2005-2009) atau 300 km per tahun. Faktanya, selama 3 tahun pertama hanya tercapai 47,83 km atau 5,3%% saja dari target karena pemerintah SBY-JK lamban dan tidak mampu melakukan langkah terobosan.
8. Sayangnya, investasi pemerintah maupun swasta yang rendah dan gerak sektor riil yang lamban, kembali akan diselesaikan dengan paket kebijakan ala Inpres No. 6/2007 pada akhir tahun 2007. Tujuanya untuk mengatur peran Pemda yang dinilai tidak aktif terlibat dalam mendorong pembangunan. Pilihan ini selain membuktikan bahwa pemerintah SBY-JK tidak dapat mengambil pelajaran dari kegagalan Inpres No.6/2007, juga merupakan bukti lain bahwa pemerintah pusat sangat lihai menimpakan kegagalan pada pihak lain. Rendahnya realisasi anggaran belanja modal baik di pusat maupun daerah telah terjadi sejak APBN 2005. Demikian juga penumpukan dana Pemda di SBI telah berlangsung dari tahun ke tahun tanpa pernah dihentikan dengan langkah terobosan. Bahkan, penempatan dana Pemda di berbagai instrumen utang akan difasilitasi dengan regulasi. Windfall profit Pemda dari kenaikan harga minyak dunia pun diberikan dalam bentuk obligasi atau instrumen utang bukan digunakan untuk mendorong kegiatan ekonomi.
9. Pilihan kebijakan moneter dan perbankan ternyata telah mengakibatkan terjadinya penurunan kesejahteraan dan daya beli masyarakat, terutama kelompok menengah bawah, baik lewat penyimpanan dana maupun kredit. Saat ini, masyarakat yang menyimpan dana dalam bentuk deposito, memperoleh pendapatan bunga antara 6-7% per tahun. Setelah dipotong pajak pendapatan para deposan sekitar 5,2% per tahun. Bila dikurangi biaya administrasi bank yang rata-rata sekitar 1-1,5% per tahun, maka hanya menyisakan pendapatan bersih sekitar 4,5% per tahun. Angka ini di bawah inflasi yang sekitar 6%. Kondisi lebih parah pada masyarakat yang menyimpan dalam bentuk tabungan. Dengan bunga rata-rata di bawah 3% per tahun, maka pendapatan bunga kelompok ini menjadi negatif. Di sisi pinjaman, termasuk pinjaman pemilikan rumah (KPR), rata-rata masih di atas 10% per tahun flat. Ini berarti spread antara bunga tabungan dan pinjaman sangat tinggi, sekitar 6%. Angka biaya operasi dibanding pendapatan operasi (BOPO) di atas 80%, lebih tinggi dibanding di negara-negara lain yang hanya sekitar 60%, membuktikan tingkat efisiensi yang rendah.
Dengan kebijakan ekonomi “lepas tangan“ ala Pemerintahan SBY-JK, sulit mengharapkan ekonomi Indonesia untuk bangkit, meningkatkan lapangan pekerjaan dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Upaya melakukan akrobat statistik dengan mengganti metodologi seperti halnya kebijakan Tebar Pesona sekadar untuk memperbaiki image di masyarakat, sama sekali tidak membantu memecahkan persoalan.