Minggu, 22 Juni 2008

Kebohongan dan Pembodohan Publik oleh Pemerintah Melalui Bantuan Langsung Tunai (BLT)



Kenaikan harga bahan bakar minyak bersubsidi kembali mengundang perdebatan hangat di masyarakat. Salah satu titik perdebatan adalah dampak kebijakan ini terhadap kemiskinan. Dalam hal ini, pihak pemerintah dan staf ahlinya berkeyakinan bahwa kenaikan harga BBM tidak akan menaikkan angka kemiskinan. Mereka bahkan memperkirakan jumlah penduduk miskin bisa ditekan dari 16,6 persen pada 2007 menjadi 14,2-16 persen dari total penduduk pada tahun 2008, dan tahun 2009 mencapai 12,5 persen.
Titik tolak dari keyakinan ini adalah anggapan bahwa program bantuan langsung tunai (BLT) akan mampu mempertahankan jumlah penduduk miskin. Salah seorang staf ahli menteri bahkan secara sesumbar memperkirakan BLT akan menurunkan angka kemiskinan karena menambah rata-rata 25 persen pendapatan penduduk miskin, sementara inflasi rata-rata diperkirakan hanya 11 persen sampai akhir tahun.
Terkait dengan angka inflasi sendiri, angka inflasi rata-rata hingga akhir tahun berpeluang lebih tinggi dari 11 persen. Alasannya sederhana, sampai saat ini belum ada satu upaya terkoordinasi yang serius untuk mengendalikan kenaikan hargaharga secara umum.
Salah satu indikasi dari ketidakseriusan ini adalah pemanfaatan jedah dari wacana ke eksekusi kebijakan kenaikan harga BBM yang tidak optimal. Pemerintah lebih memilih untuk membuat ”iklan publik” dan talk-show ketimbang mengantisipasi imbas kenaikan harga BBM. Menteri Perdagangan menjelaskan di televisi bahwa dia ingin menurunkan harga. tetapi kenyataannya tidak mampu. Sementara, pada saat yang sama, berbagai asosiasi industri, pengusaha, dan serikat buruh berteriak-teriak menuntut kenaikan harga atau upah.
Apa yang kita lihat dan saksikan saat ini barulah first-round effect dari kenaikan harga BBM. Dan belum sama sekali terlihat dampak lanjutan, atau second-round effect terhadap harga dan output.
Penurunan angka kemiskinan sebagai akibat BLT juga sangat diragukan ditinjau dari aspek metodologi. Angka garis kemiskinan di Indonesia pada 2008 dan 2009 diperkirakan akan menjadi Rp 199.000-Rp 200.000 per bulan, atau meningkat 18-19 persen ketimbang garis kemiskinan 2007. Untuk itu, perbaikan kondisi kemiskinan minimal membutuhkan kenaikan konsumsi 20 persen dari orang termiskin. Hal ini mengingat angka kemiskinan di Indonesia diukur menggunakan arus konsumsi, bukannya pendapatan.
Namun, peningkatan konsumsi yang begitu besar dari masyarakat miskin—melebihi angka 18-19 persen peningkatan angka garis kemiskinan—dalam kurun waktu satu-dua tahun sangat tidak realistis. Alasannya, tidak seperti fluktuasi pendapatan yang bisa bersifat drastis, perubahan konsumsi jarang terjadi secara dramatis. Tingkat konsumsi bisa berubah drastis hanya dalam jangka panjang.
Terkait dengan efektivitas bantuan langsung tunai sendiri, beberapa studi menunjukkan bahwa kebijakan ini hanya akan bersifat produktif jika diberikan dalam jumlah yang besar dan memerhatikan berbagai aspek sosio-kultural yang ada (lihat misalnya Devereux 2002, atau Rogers dan Coates 2002). Sementara di Indonesia, jumlah yang diberikan relatif kecil, begitu pula mekanisme dan administrasi pemberiannya jauh dari perhatian yang saksama dari aspek-aspek sosio-kultural sebagaimana yang dimandatkan.
Fakta empiris di Indonesia menunjukkan bahwa BLT tidak mampu menurunkan jumlah orang miskin. Sebaliknya, kenaikan harga BBM telah terbukti menaikkan angka kemiskinan dari 16,0 persen pada 2005 menjadi 17,7 persen pada 2006. Sementara, penurunan angka kemiskinan dari 17,7 persen pada 2006 menjadi 16,6 persen pada 2007, yang digembar-gemborkan sebagai akibat BLT, sesungguhnya tidak signifikan dan berada dalam margin kesalahan.
Dari uraian ini agaknya cukup jelas bahwa provokasi penurunan angka kemiskinan tidak lebih adalah sebuah pembodohan masyarakat.( M Ikhsan Modjo, 2008)

Senin, 09 Juni 2008

Dampak Perubahan Kurikulum bagi Guru dan Siswa



Kurikulum adalah suatu urutan unit isi mengatur sedemikian sehingga pelajaran dari tiap unit mungkin terpenuhi sebagai tindakan tunggal,menyajikan kemampuan yang diuraikan oleh unit yang ditetapakan oleh pelajar itu.(Robert gagne). Indonesia saat ini menerapkan kurikulum KTSP (Kurikulim Tingkat Satuan Pendidikan) yang merupakan penyempurnaan dari kurikulum lama yaitu KBK(Kurikulum Berbasis Kompetensi). Pada awal tahun ajaran 2006/2007 yang lalu, dunia pendidikan kita kembali dikejutkan oleh keluarnya Peraturan Mendiknas Nomor 22, 23, dan 24 tahun 2006 tentang Standar Isi (SI), Standar Kompetensi Lulusan (SKL), dan pelaksanaan SI dan SKL. Keluarnya ketiga Permendiknas tersebut sekaligus menjawab teka-teki pelaksanaan Kurikulum 2004 yang selama ini “menggantung” akibat belum memiliki kekuatan hukum yang tetap. Melalui ketiga Permendiknas tersebut, sekolah (SD, SMP/MTs, SMA/SMK/MA) harus menyusun Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) berdasarkan panduan yang disusun oleh Badan Standar Nasional Pendidikan (BSNP). Satuan pendidikan (baca: sekolah) dapat menerapkan Permendiknas tersebut mulai tahun ajaran 2006/2007 dan paling lambat pada tahun ajaran 2009/2010 semua sekolah harus sudah mulai menerapkannya.
Persoalannya sekarang, apakah KTSP mampu mengantisipasi perubahan dan gerak dinamika zaman ketika semua negara di dunia sudah menjadi sebuah perkampungan global? Apakah KTSP mampu mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa sebagaimana amanat UU Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sisdiknas? Tingginya jam belajar yang harus dilakukan oleh siswa membuat kurikulum ini menjadi kurang efektif. Perubahan-perubahan yang sering terjadi dalam kurikulum bangsa ini membuat siswa dan guru sebagai pengajar kebingungan, siswa harus menyesuaikan cara belajar sedangkan guru harus mampu menerapkan metode dan strategi mengajar yang sesuai dengan aturan yang baru. Hal tersebut dapat memicu ketidakefektifan dalam kegiatan belajar mengajar
Permasalahan yang muncul berikutnya adalah mengenai sustansi dari materi dalam kurikum baru. Dalam kurikulum KBK banyak materi yang dipelajari seharusnya dipelajari tidak diberikan dan materi yang semestinya ada tidak di berikan sehingga siswa tidak dapat belajar dengan efektif dan membuang-buang waktu. Banyak sekolah-sekolah di Indonesia yang tidak siap dalam menerima kurikulum KBK sehingga tidak jarang sekolah yang tetap menerapkan kurikulum 1994 tetapi dengan label KBK. Belum sempurna pelaksanaan kurikulum tersebut tahun 2006 pemerintah membuat kejutan lagi dengan membuat kurikulum baru yang disebut KTSP(Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan)yang diklaim sebagai pengembangan dari kurikulum sebelumnya yang disempurnakan dalam kurikulum ini setiap tingkat satuan pendidikan diberikan kebebasan dalam merancang kurikulumnya sendiri
Namun keluarnya kurikulum ini bukan tanpa hambatan, kurangnya sosialisasi dari pemerintah serta kurangnya pengalaman guru dalam membuat kurikulum mengakibatkan dampak negatif baik bagi siswa maupun guru. Seperti permasalahan sebelumnya dalam kurikulum ini juga terdapat kebingungan yang terjadi materi yang seharusnya ada di semester pertama(pada kurikulum sebelumnya) dipelajari lagi pada semester kedua(pada kurikulum baru) sehingga siswa harus mempelajari mata pelajaran yang sebenarnya sudah mereka ketahui sebelumnya.
Sungguh suatu hal yang ironis, pada negara yang hampir 63 tahun kemerdekaannya ini problem pendidikan di negara kita masih belum dapat teratasi. Konsistensi pemerintah dalam mengentaskan setiap problem yang ada masih perlu dipertanyakan karena pendidikan ini merupakan hal yang sangat fundamental dan fungsional dalam suatu negara. Oleh karena itu kita sebagai bangsa yang besar dan warga negara yang baik harus mampu memberikan masukan yang positif bagi pemerintah kita karena tanpa adanya kerjasama dari pemerintah, aparat maupun rakyat bangsa ini tidak henti-hentinya di timpa permasalahan yang pada akhirnya merusak jati diri bangsa ini