Sabtu, 05 Juli 2008

Disorientasi Anggaran dalam Pembangunan Nasional



Anggaran publik atau anggaran pemerintah memainkan sederet peranan dalam pembangunan suatu negara. Secara teoritis anggaran pemerintah memainkan 3 fungsi utama, yaitu: fungsi alokasi, distribusi dan stabilitas. Dalam fungsi alokasi ini, anggaran pemerintah memainkan peranan dalam pengalokasian anggaran untuk kepentingan publik atau penyelenggaraan pemerintahan yang pada akhirnya juga dalam rangka pelayanan publik. Dalam fungsi yang lain termasuk pula pemerataan pendapatan dan pengentasan kemiskinan (fungsi distribusi) serta penciptaan lingkungan makroekonomi yang kondusif (fungsi stabilisasi). Fungsi-fungsi dasar tersebut kemudian melandasi perumusan kebijakan fiskal baik dari sisi pendapatan, pembiayaan maupun belanja negara.
Di sisi yang lain, pemerintah mengarahkan pembangunan nasional untuk mencapai tujuan pembangunan nasional. Dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2005-2009, tujuan-tujuan pembangunan nasional ini dijabarkan dalam agenda pembangunan nasional yang meliputi: (1) menciptakan Indonesia yang aman dan damai; (2) mewujudkan Indonesia yang adil dan demokratis (3) meningkatkan kesejahteraan rakyat Indonesia.
Dalam rangka mengoptimalkan pencapaian agenda-agenda ini, diperlukan prioritas pembangunan sesuai dengan ketersediaan pendanaan dan kebutuhan pembangunan. Secara lebih spesifik dapat dikatakan bahwa alokasi anggaran pemerintah seyogyanya berorientasi pada urutan prioritas pembangunan nasional dimaksud.
Pada tahun 2005, mengambil langkah kebijakan perubahan format belanja negara. Perubahan format belanja negara ini dilandasi oleh UU Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara. Perubahan dimaksud adalah dengan menjalankan sistem penganggaran yang terpadu (unified budget) yaitu dengan menyatukan anggaran belanja rutin dan anggaran belanja pembangunan yang sebelumnya dipisahkan. Perubahan lainnya adalah reklasifikasi rincian belanja negara menurut organisasi, fungsi dan jenis belanja, yang sebelumnya menurut sektor dan jenis belanja. Perubahan ini dimaksudkan untuk menyesuaian dengan klasifikasi international serta meningkatkan transparansi dan akuntabilitas pengelolaan belanja negara.
Namun untuk dapat mengoptimalkan pencapaian pembangunan nasional, peningkatan transparansi dan akuntabilitas pengelolaan belanja negara perlu dibarengi dengan konsistensi alokasi anggaran terhadap prioritas pembangunan nasional. Anggaran Negara seyogyanya konsisten beroirentasi kepada rencana pembangunan nasional baik RPJMN maupun RKP, seperti tampak pada gambar 1 berikut. Hal inilah yang hingga saat ini kurang dapat dipenuhi oleh pemerintah.
Mismatch antara alokasi anggaran dengan prioritas pembangunan nasional ini menjadi cerminan terjadinya disorientasi anggaran pemerintah. Atau dalam tinjauan teoritis fungsi anggaran, disorientasi ini mencerminkan tidak berjalannya fungsi alokasi pemerintah dalam mendukung kedua fungsi lainnya. Tidak mengherankan jika kemudian di satu sisi kebutuhan belanja terus meningkat sementara di sisi yang lain pencapaian tujuan-tujuan pembangunan berjalan lambat.
Disorientasi anggaran pemerintah akan tampak jelas sekali dengan menyandingkan rincian APBN berdasarkan fungsi dengan prioritas pembangunan. Dalam hal tahun 2006, berarti pula menyandingkan APBN 2006 dengan prioritas pembangunan dalam RKP 2006 (lihat gambar 2). Dari gambar tersebut tampak bahwa alokasi terbesar adalah pada fungsi pelayanan umum. Selain alokasinya yang terbesar, alokasi pemerintah pada pos fungsi pelayanan umum ini secara relatif jauh lebih besar dibandingkan pos-pos fungsi lainnya dengan porsi sebesar 61,60%.dari sebesar fungsi yang ada, hanya pelayanan umum dan pendidikan (10,12%) yang mendapatkan porsi di atas 10%. Sementara sisanya memperoleh porsi rata-rata sebesar 3,14%. Tak salah kemudian jika dikatakan bahwa alokasi anggaran untuk fungsi-fungsi yang krusial baik bagi publik maupun pembangunan nasional adalah ”anggaran sisa”.
Secara kasat mata, mungkin fungsi ini adalah fungsi yang secara normatif menjadi tanggung jawab pemerintah seperti halnya administrasi pelayanan publik, belanja pegawai pemerintah dan lain sebagainya. Namun jika memperhatikan perkembangan alokasi anggaran pada fungsi ini di tahun 2005, sebesar 22,05% dialokasikan untuk pinjaman pemerintah. Suatu kondisi dan kebijakan yang telah berlangsung bertahun-tahun yang berakibat anggaran belanja lebih digerogoti untuk pembayaran utang pemerintah berikut bunga ketimbang belanja lainnya untuk pembangunan nasional.
Disorientasi anggaran juga tampak pada usulan perubahan APBN 2006. Pada usulan APBN-P 2006 selain masalah rendahnya daya serap anggaran, masalah disorientasi juga mengemuka. Keterbatasan realisasi belanja pemerintah akibat keterbatasan realisasi target penerimaan lantas semakin diperparah dengan kurangnya upaya pemerintah untuk mengoptimalkan anggaran untuk pengeluaran-pengeluaran yang lebih signifikan untuk mendorong pembangunan nasional. Hingga semester I pemerintah telah merealisasikan belanja untuk pembayaran bunga utang hingga 52,11% dari APBN 2006 (gambar 3.1). Dengan porsi yang sedemikian besar saja, pemerintah masih mengusulkan kenaikan sebesar 8,9% untuk APBN-P 2006. bisa saja pemerintah berkilah bahwa porsi yang besar ini mengingat besarnya utang yang jatuh tempo dan untuk mengurangi ketergantungan terhadap utang. Namun pertanyaannya adalah haruskah pembayaran bunga utang ini direalisasikan di semester I dengan sedemikian besarnya. Setelah tekanan demi tekanan dalam perekonomian di tahun 2005, pemerintah seyogyanya dapat memberi ruang bagi pemulihan roda ekonomi di berbagai sektor yang justru akan memberikan dampak multiplier lebih besar terhadap penanggulangan kemiskinan dan penciptaan lapangan kerja yang justru menjadi prioritas dalam pembangunan nasional di tahun 2006.
Ironisnya lagi pos-pos lainnya yang justru dapat lebih menyokong pencapaian prioritas-prioritas pembangunan di tahun 2006, tidak saja rendah realisasi tetapi juga kurang menjadi perhatian dalam APBN-P 2006. Belanja modal misalnya, baru 22,2% terealisasi dan diusulkan meningkat sebesar 6,5% (dibandingkan pembayaran bunga utang yang 8,9%) pada APBN-P 2006. Padahal pos belanja ini penting artinya untuk mendorong pembentukan modal tetap nasional. Pos lainnya adalah belanja sosial yang realisasi sedikit lebih tinggi dibandingkan belanja modal, yaitu sebesar 29,69%. Terjadinya bencana alam, kekeringan, gizi buruh di sejumlah tempat di Indonesia mestinya perlu mendapat perhatian segera dari pemerintah. Realisasi anggaran seperti ini selain menunjukkan disorientasi anggaran juga menunjukkan lambatnya pemerintah menangani hal-hal yang segera.
Akar dari masalah disorientasi anggaran pemerintah ini yang pertama adalah masalah ketidakjelasan prioritas di dalam RPJMN dan RKP. Di dalam RPJMN 2005-2009 disebutkan 33 prioritas pembangunan nasional mulai dari peningkatan rasa saling percaya dan harmonisasi antar kelompok masyarakat hingga rencana rehabilitasi NAD dan Sumut (lihat tabel 3.1.). Namun dalam kaitannya dengan alokasi anggaran dan lebih jauh lagi soal mobilisasi sumber daya pembangunan nasional, prioritas pembangunan dalam RPJMN 2005-2009 ini tidak menunjukkan prioritas relatif masing-masing poin. Dengan kata lain, ke-33 prioritas yang ada tidak terurut sebagaimana layaknya prioritas. Secara politis mungkin saja ini satu langkah “aman” bagi pemerintah. Namun dari sisi konsistensi kebijakan fiskal dan kebijakan pembangunan, penjabaran prioritas semacam ini menciptakan celah-celah yang menyebabkan terjadinya disorientasi anggaran dan tidak optimalnya pencapaian prioritas pembangunan.
Kedua, pengajuan proyek kepada pemerintah seringkali tidak mengacu pada prioritas pembangunan nasional. Dalam RPK 2006 disebutkan bahwa prioritas pembangunan pada tahun 2006 adalah prioritas yang terfokus pada upaya penyelesaian masalah mendesak dan berdampak luas bagi peningkatan kesejahteraan rakyat serta didukung oleh upaya-upaya untuk menciptakan keadaan Indonesia yang lebih aman dan adil dan demokratis. Namun bertolak belakang dengan hal ini, anggaran yang diusulkan oleh departemen-departemen seringkali tidak mengacu pada fokus sebagaimana disebutkan dalam RKP 2006. Dan parahnya pemerintah dan DPR seakan begitu saja menyetujui usulan-usulan semacam itu.
Entah karena ketidakprofesionalan pemerintah dalam menyusun anggaran atau unsur kesengajaan untuk menciptakan celah untuk praktik-praktik korupsi, namun yang jelas disorientasi anggaran terus saja terjadi. Penyusunan anggaran di departemen-departemen tidak lebih dari “copy paste“ dari anggaran sebelumnya. Hal ini terbukti dengan tidak adanya perbedaan signifikan antar draf yang diajukan dari tahun ke tahun ke DPR (Kara, 2006). Kondisi semacam ini menimbulkan satu pertanyaan besar apakah departemen-departemen mempunyai visi dan misi yang sejalan dengan prioritas pembangunan dalam RPJMN 2005-2009.
Ketiga, anggaran berdasarkan negoisasi dan kepentingan. Diorientasi anggaran disebabkan pula oleh pengajuan dan persetujuan anggaran yang lebih dilatarbelakangi oleh kepentingan sejumlah pihak daripada kepentingan publik secara luas. Hal ini diperparah lagi dengan persetujuan anggaran mulai dari departemen, pemerintah dan DPR yang lebih didasari oleh negosiasi-negoisasi baik demi kepentingan segelintir orang mamupun kepentingan politis. Kondisi seperti inilah yang kemudian menciptakan celah bagi terjadi koprusi, kolusi dan nepotisme yang kemudian berujung pada disorientasi anggaran dan inefektifitas dan inefisiensi pembiayaan pembangunan. Bahkan banyak dari proyek-proyek yang dilaksanakan oleh pemerintah hanya sebagian kecil saja yang benar-benar digunakan untuk membiayai pembangunan. Sebagian besar telah bocor baik dalam proses pencairan anggaran dari ke daerah dan dari pusat kepada departemen-departemen; legitimasi urgensi atau kepentingan satu proyek; atau bahkan dalam proses auditing anggaran suatu proyek.
Disorientasi anggaran yang berlangsung ini harus menjadi perhatian serius bagi pemerintah. Beban utang yang semakin meningkat demi pembiayaan pembangunan seharusnya dapat dioptimalkan untuk bidang-bidang atau fungsi-fungsi yang secara nyata dapat memperbaiki pembangunan ekonomi di negeri ini. Namun jelas prasyarat utamanya adalah profesionalisme, transparansi dan konsistensi kebijakan pemerintah. Tanpa ketiga hal tersebut, mustahil kebijakan anggaran dapat dikembali pada jalur yang semestinya apalagi untuk mengoptimalkan anggaran bagi peningkatan pembangunan nasional.