Selasa, 27 Mei 2008

BBM NAIK,PEMBATASAN PREMIUM, haruskah terjadi?

Rencana pemerintah membatasi premium ke pertamax menunjukkan sikap panik dan rendahnya kemampuan antisipatif tim ekonomi pemerintah. Padahal banyak cara lain yang lebih cerdas tanpa harus menimbulkan masalah baru. Hal ini sekali lagi menunjukkan rendahnya empati dan leadership pemimpin nasional. Untuk itu, Komite BangkitIndonesia menyerukan masyarakat menolak kebijakan tersebut.

Ketua Umum Komite BangkitIndonesia Rizal Ramli menyatakan, kebijakan gampangan dan reaktif seperti itu tidak akan memecahkan masalah. Yang terjadi justru menimbulkan berbagai permasalahan baru. Antara lain, berpontensi menimbulkan kepanikan di tempat penjualan BBM bersubsidi, penyelundupan BBM, dan lainnya.

"Semestinya tim ekonomi pemerintah mampu menempuh kebijakan yang cerdas dan mendasar. Salah satunya membenahi manajemen Pertamina agar lebih efisien dan menekan berbagai kebocoran. Hal mendasar lainnya, adalah mereformasi tata niaga minyak bumi dan gas. Langkah ini dimulai dengan menghapus peran para broker pemburu rente dalam impor minyak. Juga memperbaiki pola bagi hasil dengan contract production sharing agar lebih adil. Tapi semua itu tidak dilakukan karena lemahnya leadership dan karakter pemimpin," ujar Rizal Ramli.

Indonesia sedikitnya mengimpor 369.000 barel minyak mentah dan 210.000 barel BBM (premium, solar, dan minyak tanah) per hari. Dari sini saja, mereka mengantongi komisi US$10-30 cent/barel. Bisa dibayangkan berapa banyak uang negara yang dinikmati para broker itu.

Sementara itu, ketua BangkitIndonesia Iman Sugema mengatakan, kerugian lain juga disebabkan cara pembayaran. Selama ini pengadaan BBM selalu dilakukan dengan cash and carry. Tentu saja ini sangat memberatkan cash flow Pertamina. Akibat lainnya, nilai tukar rupiah juga sering tertekan.

“Jika pemerintah berani menghapuskan peran broker, bukan cuma biaya tinggi yang bisa dihilangkan, tapi sistem pembayaran juga dapat dinegosiasikan paling tidak menjadi tiga bulan. Ini akan sangat membantu cash flow Pertamina dan mengurangi tekanan terhadap rupiah. Tapi ini tidak dilakukan karena eksistensi para broker itu terkait dengan penguasa," papar Iman.
BangkitIndonesia menilai sebetulnya banyak cara untuk mengurangi tekanan APBN 2008. Antara lain dengan menerapkan burden sharing kepada semua stakeholders, baik pemerintah pusat, pemerintah daerah, kalangan bisnis, dan masyarakat luas. Burden sharing dengan dunia bisnis bisa dilakukan dengan pengenaan pajak tambahan (windfall gain tax) kepada perusahaan minyak seiring dengan naiknya harga minyak dunia.

Solusi ini bisa langsung menutupi lonjakan beban subsidi APBN tanpa harus mengorbankan masyarakat. "Lagi pula, cara seperti ini biasa dilakukan di Amerika Serikat dan inggris," kata Iman.

Sementara itu, Sekjen BangkitIndonesia Ferry J Juliantono, mengatakan pemerintah selalu menjadikan tingginya harga minyak dunia sebagai pembenaran dalam membebani rakyat dengan dalih untuk mengamankan APBN. Pada titik ini pemerintah tidak jujur. Karena naiknya harga minyak dunia juga berimplikasi naiknya pendapatan pemerintah dari migas.

Sebagai contoh, lanjut Ferry, kenaikan harga minyak dari US$40/barel menjadi US$60/barel, beban subsidi BBM memang naik dari Rp59 triliun menjadi Rp129 triliun. Tapi di sisi lain, penerimaan pemerintah juga naik dari Rp129 tirliun menjadi Rp213 triliun. Dengan demikian ada selisih positif Rp14 triliun.

"Tapi pemerintah kan selalu sibuk berkampanye beban subsidi meningkat. Sedangkan naiknya penerimaan tidak disebut-sebut. Ini jelas membohongi publik. Sesungguhnya masih banyak celah dan langkah yang diambil pemerintah untuk mendapatkan sumber devisa. Jangan rakyat terus yang harus merogoh kocek lebih dalam untuk mensubsidi pemerintah," ungkap Ferry.

Cara lain yang tidak pernah ditempuh pemerintah adalah merenegosiasi utang luar negeri. Padahal cara ini dipastikan akan mengurangi beban APBN dengan sangat signifikan. Nigeria berhasil memperoleh penghapusan utang sebesar 67% atau senilai US$17 miliar dari sebelumnya US$25 miliar. Bahkan sisanya yang US$8 miliar akan dibeli kembali (buy back) dengan harga diskon besar-besaran.

Begitu juga dengan Argentina, berhasil memperoleh potongan utang hingga 70% atau US$72 miliar dari US$102,6 miliar. Selama beberapa tahun ekonomi Argentina anjlok 11% pada 2002. Namun pada 2003 dan 2004, ekonominya mampu tumbuh 8%. Hal ini terjadi karena APBN-nya tidak dibebani kewajiban cicilan utang yang besar.

“Sayangnya pemerintah kita tidak pernah mau melakukan renegosiasi utang. Tim ekonomi pemerintah lebih suka menyenangkan kreditor asing walaupun harus mengorbankan rakyat. Untuk itu, kami mengajak masyarakat menolak pembatasan premium

Tidak ada komentar: